Kertas Kebijakan “Hak Kolektif Perempuan Adat Wajib dimaktubkan dalam Undang-Undang Masyarakat Adat

LATAR BELAKANG
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat sebagai produk hukum banyak dinantikan kehadriannya, termasuk diusung oleh koalisi masyarakat sipil. Saat ini RUU Masyarakat Adat masuk ke dalam Program Legislatif Nasional 2021, namun masih ada penolakan dari fraksi yang menganggap RUU Masyarakat Adat masih belum penting. Misalnya, Fraksi Partai Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat sangat amat gencar menolak Rancangan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat dan RUU Perlindungan PRT (Pekerja Rumah Tangga) untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Fraksi Golkar berpendapat dua RUU tersebut belum mendesak dibahas.
Sementara itu pada tahun 2020, Ketua Panja RUU Masyarakat Hukum Adat Willy Aditya memaparkan beberapa hal-hal pokok yang mengemuka dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Masyarakat Adat yang disepakati dalam Rapat Panja bersama pengusul. Di antaranya, yaitu perbaikan definisi ‘Masyarakat Hukum Adat’, ‘Wilayah Adat’, ‘Hak Ulayat’, dan menambahkan definisi ‘Tanah Ulayat’ dalam Ketentuan Umum (Bab I Pasal 1). Adapun, beberapa poin lainnya yang mencuat yakni penambahan tujuan Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat pada Pasal 3 huruf f, mengenai Masyarakat Hukum Adat sebagai penerima manfaat dari pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional. Willy mengungkapkan, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat secara sistematis terdiri dari 17 Bab dan 58 Pasal. Berdasarkan teknis dan perumusan dan substansi RUU, sambungnya, Panja berpendapat bahwa RUU tentang Masyarakat Hukum Adat dapat diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR RI.
Sayangnya, dalam draf RUU Masyarakat Adat sampai saat ini belum diakomodasi pengaturan mengenai pengakuan, perlindungan, dan penghormatan hak kolektif Perempuan Adat. Jika tidak diakomodasi, maka cita-cita RUU Masyarakat Adat untuk mewujudkan pengakuan secara utuh atas kedudukan dan hak Masyarakat Adat sebagaimana yang digembar-gemborkan selama ini,1 belum akan tercapai, karena yang kedudukan dan hak yang diakui hanya sebagian dari anggota komunitas.
1 Arimbi Heroepoetri dan Dahniar Andriani (eds.), Policy Brief RUU Masyarakat Adat, ed. 2, (s.l.: Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, 2020), hal. 1.

Dalam rangka itulah, PEREMPUAN AMAN menuliskan kertas kebijakan ini. Tulisan ini dibuat sebagai pengantar, dan sebagaimana rancangan peraturan pada umumnya, kajian yang lebih deliberatif membutuhkan kajian lanjutan, misalnya dalam bentuk naskah akademik. Pokok pembahasan dalam kertas kebijakan ini adalah:

  1. Pengertian hak kolektif Perempuan Adat.
  2. Alasan pentingnya pengaturan mengenai hak kolektif Perempuan Adat.
  3. Rekomendasi pengaturan mengenai hak kolektif Perempuan Adat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *