Perjuangan perempuan adat dalam menghadapi perubahan-perubahan di wilayah adat terus bergulir meskipun di masa pandemi Covid-19. Mereka tak pernah menyerah walaupun mengalami berbagai tekanan dari dalam dan luar.
JAKARTA, KOMPAS — Para perempuan adat terus mengalami tekanan seiring menyusutnya wilayah adat. Meski demikian, mereka terus menunjukkan ketahanan dengan berbagai cara.
Di beberapa wilayah adat, para perempuan adat melakukan pendataan dan pemetaan untuk mengetahui jumlah dan posisi mereka. Hasil pendataan lalu disampaikan kepada pemerintah daerah setempat untuk diverifikasi dan menjadi dasar pengakuan atas keberadaan mereka di wilayah adat.
”Hampir tidak ada lagi hutan di wilayah adat Rangan, tetapi perempuan adat terus menjaga sisa hutan,” ujar Yurni Sadariah dari Pengurus Harian Daerah Perempuan Adat Nusantara-AMAN Paser, Kalimantan Timur, dalam diskusi daring ”Pengetahuan Perempuan Adat Mewujudkan Pengakuan atas Wilayah Adat”, Selasa (13/4/2021). Diskusi itu digelar dalam rangka Temu Nasional Perempuan AMAN.
Yurni mengungkapkan, wilayah adat Desa Rangan, Kecamatan Kuaro, Kabupaten Paser, saat ini hampir 90 persen wilayahnya berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Dari sekitar 9.000 hektar luar wilayah adat Rangan saat ini, area hutan yang tersisa tinggal sekitar 2.500 hektar. Selebihnya merupakan perkebunan sawit dan permukiman yang ditempati penduduk transmigrasi.
Untuk mempertahankan wilayah adatnya, Yurni dan para perempuan adat terus berupaya menghidupkan kembali berbagai pengetahuan masyarakat adat, misalnya kerajinan tangan menganyam dan mengukir. Bersama lembaga adat, mereka juga berusaha mendokumentasikan kembali pengetahuan adat tentang obat-obatan.
“Dulu ketika hutan masih lebat, kami bisa berladang dengan tanah yang luas, mencari bahan pangan ke hutan dengan mudah. Sekarang kami harus beli. Bahkan, untuk kebutuhan air bersih saja kami harus beli, terutama di musim kemarau. Kami membeli air sekitar Rp 700.000. (Yurni Sadariah)”
”Saat ini masyarakat luar mungkin melihat masyarakat Rangan sejahtera. Namun, itu sebenarnya penderitaan, karena dulu ketika hutan masih lebat, kami bisa berladang dengan tanah yang luas, mencari bahan pangan ke hutan dengan mudah. Sekarang kami harus beli. Bahkan, untuk kebutuhan air bersih saja kami harus beli, terutama di musim kemarau. Kami membeli air sekitar Rp 700.000,” tutur Yurni.
Situasi serupa diungkapkan Meiliana Yumi, anggota PEREMPUAN AMAN, Menteng, Sumatera Utara. Masyarakat Adat Rakyat Penunggu, Kampong Menteng, juga menghadapi kesulitan karena wilayah adat berkurang akibat perluasan perkebunan. Pada tahun 2009 mereka mulai berjuang hingga bisa memasuki wilayah adat dan berladang pada 2010 meskipun pada 2011 sempat bentrok dengan PT Perkebunan Nusantara II.
”Kami kemudian mendirikan rumah dan menanam berbagai tanaman di wilayah hutan adat meskipun banyak tekanan,” kata Meiliana.
Bahkan, saat ini tidak hanya kehilangan wilayah adat, pengetahuan-pengetahuan masyarakat tentang berladang, pangan tradisional, dan obat-obatan pun terus berkurang dan nyaris hilang. Sekarang, masyarakat adat setempat juga menghadapi berbagai situasi terkait rencana pemindahan ibu kota negara ke Kaltim.
Kelola lahan adat
Bersama pengurus kampung para perempuan adat, sejak tahun 2014 Meiliana melakukan pendataan perempuan adat untuk menunjukkan eksistensi mereka. Tak hanya itu, sejak tahun 2017 mereka mengajak para laki-laki untuk kembali mengelola lahan adat.
”Tahun 2018 kami sudah menanam sayuran secara kolektif. Perempuan adat juga tidak berhenti. Kami berbagi tugas, yang di kampung menanam. Kami mulai mendorong agar pemerintah mengakui keberadaan kami,” ujarnya.
Baca juga :Perempuan Adat Terabaikan
Sejak tahun 2016, perempuan adat mengawal Rancangan Peraturan Daerah Masyarakat Adat, dengan terus melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Begitu juga pendataan dan pemetaan terkait data dan keberadaan perempuan di wilayah adat terus dilakukan hingga akhirnya mendapat pengakuan berupa surat keputusan pemerintah desa setempat.
Ketua Umum Perempuan AMAN Devi Anggraini menambahkan, perjuangan perempuan adat untuk mempertahankan wilayah adat tak pernah berhenti meski menghadapi berbagai tekanan. ”Kami mencoba bertahan di wilayah adat yang ada. Kami hidup di wilayah adat, tumbuh berkembang dari generasi ke generasi menggunakan pengetahuan mereka. Ketangguhan perempuan adat untuk mempertahankan wilayah adat tidak pernah padam,” tegasnya.
Sumber beret: https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/04/13/ketahanan-perempuan-adat-terus-diuji/?utm_source=bebasakses_kompasid&status_login=login
Tinggalkan Balasan