[Bogor, 25 November 2020]
Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) telah melaksanakan konsultasi hasil riset mengenai “Kekerasan Berbasis Gender” dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Riset yang berjalan selama 3 bulan dimulai dari bulan Agustus sampai Oktober 2020. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam saat ini membawa serta konflik berkepanjangan tanpa adanya penyelesaian yang adil bagi para pihak yang berkonflik. Umumnya konflik terjadi antara Masyarakat Adat dengan pengusaha yang mendapatkan ijin pengelolaan sumber daya alam dari pemerintah. Kebijakan pengelolaan SDA di Indonesia selalu tumpang tindih dengan sistem dan aturan adat di wilayah adat tertentu bahkan dapat dikatakan abai.
Jurang kesenjangan yang tinggi semakin terlihat ketika aset Masyarakat Adat diambil alih oleh Pemerintah dengan dalih mensejahterakan masyarakat melalui APBD dan APBN. Namun nyatanya pembangunan yang eksploitasi, masif mengakibatkan kerusakan SDA justru mendorong Masyarakat Adat masuk ke dalam proses pemiskinan dan kemiskinan. Lebih jauh, Pemerintah tidak menganggap praktik ekonomi Masyarakat Adat sebagai aktivitas perekonomian. Kesaksian salah satu responden Perempuan Adat dalam penggalian data GBV di Rangan, Kalimantan Timur (S, 44 Tahun) menuturkan:
“Waktu itu saya baru berumur 8 tahun, almarhum bapak sedang cari rotan, hari itu bapak pergi ke kebun rotan kami untuk memanen rotan, saat tengah hari bapak pulang ke rumah untuk makan siang karena rotan yang bapak dapat cukup banyak dan tidak mungkin jika di bawa pulang sekaligus akhirnya sebagian rotannya di tinggal (di kebun), rotan yang di tinggal itu sebanyak 1 bal. Saat bapak kembali ke kebun,bapak sangat sedih,karena lokasi tersebut sudah rata digusur traktor (buldoser) hutannya sudah porak poranda, bahkan rotan milik bapak juga ikut hilang,tertimbun tanah. (S, 44 Tahun)”
Perempuan Adat bertahan dari sumber-sumber kehidupannya yang semakin lama semakin berkurang dan terancam musnah. Sehingga, riset “Kekerasan Berbasis Gender” ini penting dilakukan oleh PEREMPUAN AMAN untuk mengisi kekosongan data mengenai situasi komunitas-komunitas Masyarakat Adat dan Perempuan Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pendataan ini dapat digunakan untuk mendorong terjadinya perubahan kebijakan pembangunan yang menempatkan Masyarakat Adat dan Perempuan Adat sebagai subjek dari pembangunan.
Pendataan menggunakan kuisioner terbuka (kualitatif) dan kuisioner tertutup (kuantitatif) dilakukan oleh Perempuan Adat di wilayah pengorganisasian PEREMPUAN AMAN yang tersebar di 8 Provinsi yakni; Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, NTT, NTB dan Maluku Utara. Tanggapan didapatkan dari 537 responden yang berasal dari 14 Wilayah Pengorganisasian PEREMPUAN AMAN yang didominasi oleh responden Perempuan Adat sebesar 71.5%.
“Menggali kisah hidup dan menuliskan kembali dengan tekanan waktu terbatas adalah pekerjaan luar biasa yang berhasil dilakukan oleh teman-teman Perempuan Adat yang menjadi peneliti ”, ujar Arimbi Heroepoetri, Tim Penulis yang juga Dewan Pakar PEREMPUAN AMAN.
Hasil riset menunjukkan bahwa responden sebagian besar memiliki pekerjaan utama berkebun di lahannya sendiri sebanyak 204 responden, dan 167 responden berladang dan bersawah di lahan orang lain. Data ini menunjukkan keterhubungan pengetahuan Perempuan Adat di dapatkan dari proses pewarisan dari tetua yang terus dipraktikkan dan dikembangkan sebagai sumber utama dari penghidupan untuk menjamin keberlangsungan hidup Masyarakat Adat.
Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN menekankan bahwa identitas Perempuan Adat dibangun oleh Wilayah Kelola Perempuan Adat didalam wilayah adatnya, Pengetahuan dan Otoritas (Pengaturan). Perempuan Adat memegang peran kunci dalam pengelolaan sumber-sumber hidup di komunitas adatnya sehingga “tidak akan ada kehidupan yang berkeadilan dan berkelanjutan jika tidak menempatkan Perempuan Adat dalam proses-proses pengelolaan sumber daya alam”.
Fakta kuat sebesar 79.3% responden menunjukkan bahwa posisi Perempuan Adat dalam kegiatan-kegiatan ritual/adat, pengambilan keputusan sangatlah rendah. Hal ini dialami karena peran gender (laki-laki dan perempuan) yang dilekatkan kepada mereka dalam pengelolaan sumber daya alam. Minimnya pelibatan Perempuan Adat dalam pengambilan keputusan baik di tingkat komunitas adatnya maupun di ruang publik mengakibatkan Perempuan Adat menjadi kelompok yang lebih rentan menerima perlakuan yang diskriminatif.
Selain itu pembangunan yang masuk ke wilayah adat dan komunitas adat seringkali tidak menerapkan free and prior informed consent (FPIC), artinya Masyarakat Adat tidak pernah mendapatkan informasi yang utuh atas proyek termasuk resiko dari dampak yang akan dialami jika proyek beroperasi di wilayah adat mereka. Kondisi ini terjadi pada Masyarakat Adat Uru, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Tanpa persetujuan Masyarakat Adat yang telah turun-temurun tinggal di wilayah tersebut, secara sepihak Pemerintah menetapkan hutan adat Uru menjadi hutan lindung. Akibatnya Perempuan Adat (Masyarakat Adat) tidak lagi leluasa untuk memasuki hutan adatnya apalagi memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya sebagai sumber-sumber pangan, herbal, pewarna alam dan lainnya. Ironisnya Perempuan Adat (Masyarakat Adat) dicap sebagai perusak hutan. Saat ini Komunitas Adat Uru sedang mengajukan SK Hutan Adat sekitar 2,154 Ha hutan adat/ kabo tua untuk ditetapkan oleh KLHK .
Hasil kajian PEREMPUAN AMAN menunjukkan Urgensi tersedianya dasar hukum setingkat Undang-Undang yang dapat memberikan Perlindungan, Pemenuhan dan Resitusi Hak-Hak Masyarakat Adat. Dalam UU itu haruslah secara khusus menempatkan pengaturan hak kolektif Perempuan Adat seperti pengetahuan dan otoritas dalam pengelolaan Sumberdaya Alam. Hasil Kajian ini juga dimaksudkan untuk menghadirkan (visibilitas) situasi Perempuan Adat (Masyarakat Adat) di Indonesia kepada pembuat kebijakan, akademisi, media dan public yang lebih luas.
Narahubung: Devi Anggraini (Ketua Umum PEREMPUAN AMAN), No.HP 0812-8387-9244
Tinggalkan Balasan