Perempuan Adat Sebagai Penjaga Ketahanan Hidup Generasi Mendatang

Jakarta 12/11/2015 – Perempuan adat adalah pihak yang paling terpapar langsung oleh dampak perubahan iklim. Kehidupan dan penghidupan mereka yang sebagian besar mengandalkan sumber daya alam terancam dengan pergeseran musim dan perubahan cuaca ekstrim. Hal ini pun mengarah pada punahnya peran utama perempuan adat sebagai penjaga pangan keluarga dan komunitasnya.

Namun, dalam berbagai proses perundingan iklim yang berlangsung baik di tingkat komunitas, pemerintah daerah maupun pusat, keterlibatan perempuan adat minim mendapat perhatian. Padahal, mereka menjadi kelompok terdepan dan rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Perempuan adat terus menerus menyaksikan dan mengalami dampak perubahan drastis atas wilayah kelola dan sumber daya alamnya. Mereka kesulitan memperoleh air bersih, harus bekerja dua kali lebih keras dari biasanya di lahan pertanian, ditambah lagi lahan yang mereka garap diubah menjadi lahan konsesi perkebunan dan pertambangan. Sudah seharusnya perempuan adat terlibat didalam proses pengambilan keputusan serta berbagai inisiatif bersama komunitasnya menghadapi perubahan iklim diakui pemerintah.

Perubahan Iklim

Berdasarkan hal itu Perempuan adat yang tergabung dalam PEREMPUAN AMAN menggelar Lokakarya Dialog Nasional Perempuan Adat dengan Delegasi RI mengenai Perubahan Iklim menuju Proses Negoisasi COP 21 Paris, di Jakarta pada 11- 12 November 2015. United Nation Convention on Climate Change (UNFCCC)Conference of Parties 21 (COP21) adalah pertemuan global yang dihadiri perwakilan negara-negara untuk mencapai kesepakatan soal kebijakan perubahan iklim.

Pertemuan yang akan berlangsung akhir November 2015 mendatang semakin mendesak, karena suhu bumi telah mencapai 1.5 derajat Celcius. Sementara diyakini bahwa suhu bumi tertinggi yang aman bagi kehidupan di dalam planet adalah 2 derajat Celcius. Karena itu COP 21 menekankan adanya kesepakatan tentang iklim, yang berlaku dan mengikat secara hukum untuk semua negara, dengan tujuan menjaga pemanasan global dibawah 2 derajat Celsius.

Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini menyampaikan pandangannya
Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini menyampaikan paparannya

Pada lokakarya yang menyoroti isu perempuan adat dan perubahan iklim ini, perempuan adat Suku Dayak Manyaan, Kalimantan Tengah, Lilis mengatakan, “ada lima hal yang terjadi akibat perubahan iklim, salah satu imbasnya pada pangan. Akibat kemarau panjang dan kebakaran hutan, bahan pangan kami menjadi minim di Barito Timur. Lalu, ekonomi pengrajin rotan harapan saya jadi sirna. Karena biasanya tiap tahun rotan subur dan mudah dipelihara, tapi sekarang akibat panas dan penguapan semua mati sendiri. Ke tiga, kebutuhan rumah. Karena hutan terbakar, tak ada kayu. Ke empat, kesehatan. Akibat asap, terjadi seperti yang terlihat di televisi. Ke lima, adalah pendidikan. Musim kemarau ini anak-anak libur hampir sebulan dalam 3 bulan terakhir ini,” papar Lilis

Selain itu, Afrida Erna Ngato, Kepala Suku Pagu, Kab Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara mengatakan bahwa akibat perubahan iklim pengaruhnya tidak terlepas pada ketahanan pangan. Ketahanan pangan juga mencangkup seluruh mahluk hidup. “Saya mau berbagi khusus pada kita manusia, di mana-mana terjadi bencana kelaparan. Kalau kami di Malut dan Maluku umumnya. Globalisasi membuat kita orang berjuang , karena pangan lokal dikonversi ke beras. Kalau perubahan iklim, kita tak bisa tanam di sawah dan ladang ini juga persoalan,” jabar Efrida.

Semua pengalaman dan pengetahuan perempuan adat tersebut menjadi dasar bagi Posisi PEREMPUAN AMAN untuk COP 21, Paris. Diantaranya, Perempuan adat berkeyakinan bahwa Negara telah salah urus dalam pengelolaan sumber-sumber hidup dan wilayah adat yang menyumbang terjadinya percepatan perubahan iklim. Perempuan adat menyadari harus membangun posisi yang tegas untuk menempatkan kebutuhan-kebutuhan khususnya dalam proses negosiasi COP 21, Paris secara sungguh-sungguh. Perempuan adat menuntut adanya pengakuan atas wilayah adat dan wilayah kelolanya. Perempuan adat menuntut adanya pengakuan atas pengetahuan perempuan adat dan pengelolaan sumberdaya alam dalam kebijakan perubahan iklim.

Seruan Perempuan Adat

Lokakarya Perempuan AMAN
Lokakarya Perempuan AMAN photo bersama wakil KLH-K & Drs Sri Tantri Arundhati, M.SC

Perempuan adat juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan pihak-pihak lainnya untuk menghentikan tudingan dan upaya memojokkan pengetahuan dan praktik perladangan gilir balik yang telah dipraktekkan secara turun menurun selama ratusan tahun di komunitas adat. Perempuan adat menegaskan untuk memperkuat posisi diberbagai tingkatan pengambilan keputusan strategis dalam kebijakan perubahan iklim. Penegasan ini juga berlaku kepada seluruh proyek pembangunan atau perubahan iklim yang diimplementasikan ke dalam wilayah adat untuk menjadikan prinsip Free, Prior, Informed Consent(FPIC) sebagai prasyarat utama. Terakhir, Perempuan adat mendesak untuk menghentikan kriminalisasi terhadap perempuan adat yang memperjuangkan dan mengelola sumberdaya alam di dalam wilayah adatnya masih terjadi di berbagai belahan dunia.

Tujuh hal itu menjadi Posisi Perempuan Adat yang akan disampaikan oleh Delegasi PEREMPUAN AMAN di COP 21. Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini dalam sesi jumpa pers menyampaikan bahwa posisi ini akan dibawa oleh Olvy Tumbelaka (Dewan Nasional PA) sebagai perwakilan dari PEREMPUAN AMAN. Posisi ini juga akan disebarkan kepada Jaringan Kerja Asia Indigenous Women Network yang juga mengikuti proses-proses COP 21. Ini menjadi yang pertama kali bagi PEREMPUAN AMAN dalam proses negoisasi perubahan iklim di tingkat Internasional dan menunjukan posisinya secara tegas.

“Selama ini kami selalu ikut sebagai organisasi sayap, dan kami merasa itu sudah tidak cukup lagi. Perempuan adat memiliki satu kebutuhan khusus. Keberangkatan Olvy menjadi satu titik dimana ia akan menunjukan apa kebutuhan spesifik perempuan adat terkait dengan perubahan iklim, pengakuan atas pengetahuan, pengakuan atas wilayah kelola,” papar Devi lebih jauh.

“Bukan hanya mengikut pada agenda besar yang selama ini disuarakan oleh banyak masyarakat adat, tapi kita ingin mengatakan pengakuan atas wilayah kelola itu adalah penjaminan keberlangsungan hidup generasi yang akan datang,” katanya.****Titi Pangestu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *