- Kronologi Konflik Tenurial Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq
Konflik tenurial yang diderita Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai bermula ketika masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Subur Abadi Wana Agung (PT SAWA), ke Desa Long Bentuq pada tahun 2005-2006. Pada 2008, masyarakat mengetahui adanya gusuran yang mulai dilakukan oleh PT SAWA. Akhirnya, masyarakat meminta PT SAWA untuk menghentikan aktivitasnya. Namun perusahaan tetap melanjutkan aktivitasnya dan menggusur wilayah adat masyarakat. Sampai saat ini, 13 tahun perjuangan Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai belum membuahkan hasil. Sampai kini wilayah adat mereka masih dikuasai oleh PT SAWA seluas ±4000 hektar. Padahal, wilayah masyarakat tersebut masuk dalam hutan adat, yang berdasarkan hukum adat dan kearifan lokal tidak untuk ditanami sawit, dan dilindungi berdasarkan UUD 1945 dan Putusan MK 35/2012.
Konflik bertambah ketika pada 2020, perusahaan meminta izin kepala desa untuk membuka jalan pengangkutan buah sawit yang melewati lahan kelompok tani Long Bentuq. Kemudian masyarakat setelah mengetahui adanya penggusuran naik untuk menutup jalan tersebut, dan sampai kini belum ada kesepakatan antara masyarakat dan PT SAWA. Sejak 30 Januari 2021, masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq melakukan aksi damai dengan menutup akses pengangkutan CPO dan buah sawit PT SAWA. Menurut keterangan pendamping di lapangan, masyarakat tidak menutup total jalan, hanya menghalangi akses bagi mobil PT SAWA dan mobil yang akan masuk ke PT SAWA.
2. Kronologi Kriminalisasi terhadap 3 Pejuang Adat
Di tengah aksi damai yang dilakukan oleh masyarakat, pada 6 Februari 2021, aparat dari Polres Kutai Timur menyampaikan surat panggilan sebagai saksi kepada Daud Lewing (kepala adat), Benediktus Beng Lui (sekretaris adar), dan Elisason (perwakilan Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur). Pidana yang dituduhkan adalah pelanggaran Pasal 192 KUHP dan/atau Pasal 63 (1) UU 38/2004. Kemudian pada 24 Februari 2021, diterbitkan Surat Panggilan Kedua dengan Nomor SP.Gil/70/II/RES.1.24./2021.
Dalam kedua surat panggilan ini, ketiga pejuang adat dipanggil sebagai saksi. Selain itu, Surat Panggilan Kedua menyebutkan pemanggilan untuk pemeriksaan akan dilaksanakan pada 1 Maret 2021. Tiba-tiba, pada Sabtu 27 Februari 2021, ketiga pejuang adat ini dijemput paksa oleh belasan mobil aparat bersenjata lengkap.
3. Catatan/Temuan terkait Penangkapan dan Kriminalisasi 3 Pejuang Adat
Terdapat beberapa catatan dari kami berkaitan dengan penangkapan dan kriminalisasi tiga pejuang adat di atas, antara lain:
- Aksi damai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyampaian pendapat di muka umum dilindungi oleh konstitusi dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebelum melakukan aksi damai, Lembaga Adat Dayak Modang Long Wai di Long Bentuk mengirim surat kepada Kepolisian RI cq Kapolsek Muara Ancalong Nomor 010/AD-LB/BSG/1/2021 Perihal Pemberitahuan Aksi Damai sesuai dengan prosedur dalam UU 9/1998.
- Ketiga pejuang adat mendapat Surat Panggilan sebagai Saksi untuk pemeriksaan tanggal 1 Maret 2021. Namun, tiba-tiba langsung dilakukan penangkapan pada 27 Februari 2021.
- Peristiwa penangkapan yang melibatkan belasan mobil aparat bersenjata lengkap berpotensi melanggar asas proporsionalitas yang diatur dalam Peraturan Kapolri 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Asas proporsionalitas mensyaratkan mewajibkan anggota Polri menjamin tindakan anggota Polri seimbang dengan tindakan seseorang. Ketiga pejuang adat tidak sedang mengancam keselamatan siapapun, mereka ditangkap saat selesai melakukan pendataan aset di wilayah adat Dayak Modang Long Wai. Pengerahan belasan mobil dengan aparat bersenjata lengkap berpotensi melanggar asas proporsionalitas.
- Pejuang adat tidak memenuhi unsur pidana yang dituduhkan. Masyarakat adat Dayak Modang Long Wai tidak melakukan pemblokiran apalagi perusakan jalan. Aksi damai hanya ditujukan khusus untuk menahan operasi mobil PT SAWA dari mengangkut CPO dan buah sawit. Hal yang masuk akal karena aktivitas PT SAWA secara khusus telah mengancam perlindungan fungsi hutan adat masyarakat. Namun masyarakat yang melakukan aksi damai tidak merintangi jalan untuk umum.
- Dalam kasus kriminalisasi masyarakat, proses pemidanaan tidak bisa dilihat secara formalistik. Namun harus melihat apakah proses pemidanaan ini merupakan salah satu alat untuk melumpuhkan perlawanan masyarakat adat yang bertahun-tahun berjuang mempertahankan wilayah adatnya.
Tinggalkan Balasan