RUU Masyarakat Hukum Adat meneruskan syarat pengakuan legalitas sebelum negara mengakui penduduk adat memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Empat kelemahan RUU Masyarakat ada yang berpotensi menjauhkan tujuan melindungi mereka.
Hariadi Kartodihardjo Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB
Seorang aktivis hak-hak perempuan dan hak penduduk asli Amerika, Lydia Maria Child (1802-1880) pernah mengatakan, “Hukum bukanlah hukum jika melanggar prinsip keadilan.” Law is not law, if it violates the principles of eternal justice.
Kalimat itu akan terasa sesuai jika kita membaca Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat pada draf 4 September 2020. Rancangan itu, yang diajukan sejak 2009, tampak hanya mewadahi prosedur administrasi pengakuan masyarakat hukum adat ketimbang meluruskan hak-hak warga negara yang selama ini diperlakukan tidak adil.
Rancangan itu terdiri dari 17 bab dan 58 pasal. Sebanyak 20 pasal di antaranya telah mendapat masukan perubahan melalui rapat Panitia Kerja DPR maupun dari rapat dengar pendapat dengan pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, seperti tertuang dalam laporan Ketua Panja DPR kepada pimpinan dan anggota Badan Legislasi, 4 September 2020.
Dalam penjelasan umum ada keterangan bahwa kedudukan masyarakat hukum adat selama ini rentan secara ekonomi, hukum, sosial budaya, maupun hak asasi manusia. Akibat marginalisasi, masyarakat adat juga sering kali mengalami konflik internal maupun dengan pihak lain. Selain itu ada benturan ketika hukum adat dihadapkan dengan hukum positif.
Sebelum mendapatkan perlindungan menjalankan hak-haknya, negara terlebih dahulu mesti mengakuinya melalui proses legalitas formal. Pengakuan dilakukan oleh suatu kepanitiaan yang akan mengidentifikasi, memverifikasi, dan memvalidasi keberadaan mereka berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan dalam RUU itu. Mereka sah sebagai masyarakat adat yang diatur hak-haknya oleh negara jika sudah mendapat surat pengakuan resmi dari pejabat setingkat menteri.
Karena itu, ada beberapa hal yang lemah dalam RUU ini:
Pertama, secara umum ruang hidup masyarakat hukum adat kini sudah berbenturan dengan berbagai penggunaan dan pemanfaat sumber daya alam yang izinnya diatur oleh undang-udang lain yang sudah berlaku. Hal itu berarti masyarakat adat telah ditempatkan di barisan belakang dan tidak mendapat pelayanan setara dengan kelompok masyarakat lainnya.
Maka, menempatkan perlindungan masyarakat hukum adat setelah proses pengakuan hanya akan melanggengkan posisi mereka tetap di barisan belakang. RUU ini semestinya memastikan apa yang segera harus dilakukan negara untuk melindungi mereka—terlepas ada atau tidak pengakuan legal atas keberadaannya—dari benturan dengan korporasi yang akan menggusur ruang hidup mereka. Status wilayah adat indikatif semestinya menjadi instrumen melindungi masyarakat hukum adat.
Mari bandingkan dengan “penunjukan” kawasan hutan negara, yang mendapatkan perlindungan hukum positif kendati pejabat negara setingkat menteri belum mengakui dan mengesahkannya. Ketika RUU itu tidak bisa memastikan tenggat proses identifikasi, verifikasi, dan validasi serta penetapan legalitas masyarakat hukum adat, mereka akan selalu berada di belakang barisan investasi, yang kini akan mendapatkan pengakuan dan keistimewaan kian besar lewat RUU Cipta Kerja.
Dengan begitu, RUU Masyarakat Hukum Adat seperti air yang tidak bisa menghapus dahaga. Masyarakat adat akan selamanya terpinggirkan dengan klausul ini. Sebagaimana dikatakan William Scott Downey bahwa hukum tanpa keadilan ibarat luka tanpa obat. Menganga dan sakit selamanya.
Kedua, syarat pengakuan dalam pasal 6 ayat 2 yang terhadap wilayah adat akan kian memberatkan masyarakat adat. Pasal 1 menerakan pengertian wilayah adat, yakni kesatuan wilayah berupa tanah, hutan, perairan, beserta sumber daya alam, baik yang di atasnya maupun yang terkandung di dalamnya, yang diperoleh secara turun temurun dan memiliki batas-batas tertentu, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang hidup di dalamnya.
Ada tanah, hutan, sumber daya alam. Pendeknya sebuah ruang yang pengaturannya tercantum dalam undang-undang lain, termasuk areal yang dibagi untuk bermacam sektor. Dalam undang-undang soal tata ruang, misalnya, ada pengaturan fungsi-fungsi hutan dan lahan sebagai kawasan lindung, termasuk di dalamnya hutan lindung dan hutan konservasi. Maka, jika masyarakat adat ada di sana, semestinya mereka wajib dilindungi, ada atau tidak ada pengakuan terhadap mereka.
Agar dalam pengesahan masyarakat hukum adat dan wilayahnya menjadi satu kesatuan, yang tertuang dalam pasal 11 dan 13, perlu ada ketetapan yang mengatur keberadaan mereka jika wilayahnya dibebani izin-izin lain. Sebagai bentuk kebijakan afirmatif, seharusnya wilayah adat mendapat prioritas mendapatkan penetapan lebih dulu. Konsekuensinya RUU ini perlu mengatur adendum perizinan jika di sana sudah ada masyarakat adat. Paradigma ini perlu menjadi keputusan politik, jika benar aturan dibuat dengan semangat memberikan kepastian hukum bagi semua orang.
Ketiga, Panitia Masyarakat Hukum Adat yang ditetapkan oleh bupati atau wali kota, gubernur maupun menteri yang tertuang dalam Pasal 7 hingga 9, ternyata juga bertugas memverifikasi hasil identifikasi sebuah wilayah adat seperti diatur pasal 15. Jika ini dibiarkan, akan melahirkan konflik kepentingan tiada tara yang akan melahirkan tata kelola pemerintahan yang buruk.
Selain itu, pengumuman hasil identifikasi seperti tertuang dalam pasal 13 hanya disebutkan di kantor desa/kelurahan setempat. Partisipasi melalui keterbukaan informasi itu semestinya meliputi wilayah kabupaten/kota, provinsi, atau nasional, tergantung wilayah adat itu berada. Pengembangan infrastruktur dan penetapan izin pemanfaatan sumber daya alam semestinya memperhatikan pengumuman ini.
Keempat, hambatan administrasi proses identifikasi, verifikasi, dan validasi juga dapat terjadi ketika batas-batas kabupaten belum ada. Akumulasi lima tahunan sebaran luas wilayah adat semestinya dimasukkan ke dalam penataan ruang yang direvisi tiap lima tahun. Klasifikasi wilayah pada penetapan tata ruang sejauh ini hanya berdasarkan fungsi dan struktur, tanpa memasukkan unsur penguasaan terhadap ruang itu.
Klasifikasi ini relevan ketika karakteristik hubungan antara masyarakat adat dan hutan atau wilayah lindung sangat kuat, seperti di Papua dan Papua Barat. Tanpa informasi penguasaan tanah dan hutan dalam tata ruang, penguasaan secara besar-besaran oleh pihak tertentu, termasuk land grabing, akan semakin kuat, yang seolah dibiarkan oleh negara dengan tidak membangun instrumen pengendaliannya. Perubahan penataan ruang saat ini, melalui RUU Cipta Kerja, mestinya memasukkan wilayah adat sebagai instrumen pengendalian konflik maupun menegaskan kepastian hukum hak-hak atas tanah, hutan, dan perairan di masa depan.
Penetapan masyarakat hukum adat dalam RUU Masyarakat Hukum Adat sebaiknya dipikirkan lagi secara lebih hati-hati. RUU ini mestinya tak lagi terjebak dalam proses-proses administrasi yang selama ini justru jadi pengekang masyarakat adat mendapatkan hak ruang di wilayah tinggal mereka.
RUU masyarakat adat akan lemah jika tak memprioritaskan masyarakat adat sebagai warga negara yang sah dan punya kedudukan setara di mata hukum, dengan masyarakat lain. Banyak bukti yang menunjukkan, kearifan lokal masyarakat adat justru melindungi hutan dan lingkungan yang lebih dibutuhkan penduduk dunia ketimbang sekadar investasi bisnis.
Jika mengutip kembali Lydia Maria Child, RUU Masyarakat Hukum Adat bukan hukum karena ia mengabaikan asas keadilan sosial.
Foto: Penduduk suku adat Batin Sembilan yang sedang mengumpulkan rotan di hutan Jambi.
COPYRIGHT © forestdigest
Sumber: https://www.forestdigest.com/detail/745/empat-kelemahan-ruu-masyarakat-adat
Tinggalkan Balasan