Jakarta, Gatra.com-Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat masih terjadi di dalam komunitas adat. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat dinilai akan menjadi satu kebijakan hukum yang mampu mengeliminasi hal tersebut.
“RUU Masyarakat Adat ini merupakan satu kebijakan hukum yang mampu mengikat Masyarakat Adat terlibat aktif dalam mengeliminasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan adat,” ungkap Direktur Program dan Komunikasi PEREMPUAN AMAN dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/2).
Tidak hanya itu, menurut Mumtaza, di dalam Masyarakat Adat terdapat hak-hak kolektif perempuan yang tidak terlindungi oleh beragam kebijakan di Indonesia. Hal ini yang membuat Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat melihat urgensi beleid ini.
“Karenanya kami meyakini bahwa RUU Masyarakat Adat merupakan satu-satunya kebijakan yang mampu melindungi hak-hak kolektif perempuan adat serta menjaminkan partisipasi perempuan adat di dalam pembangunan berbangsa dan bernegara,” ungkap Muntaza,
Pada Desember lalu, sebagai contoh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah mengambil posisi netral di dalam pertarungan Capres-Cawapres 2019. Posisi ‘non-blok’ hadir sebagai sikap politik atas tidak terwujudnya komitmen Jokowi-JK di Nawacita serta ketidakjelasan visi-misi Paslon Prabowo-Sandi atas Masyarakat Adat.
“RUU Masyarakat Adat bukanlah alat dagang politik. Undang-Undang Masyarakat Adat dibutuhkan Bangsa Indonesia karena merupakan mandat konstitusi UUD 1945,” Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB AMAN, Muhammad Arman.
Adapun komitmen atas Undang-Undang ini, menurut dia tidak hanya cukup di atas kertas atau sekedar omongan politik saja. Sudah hampir satu dekade RUU Masyarakat Adat terombang-ambing pengesahannya.
Akhir November 2013, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat menjadi agenda Progam Legislasi Nasional (Prolegnas).Tahun 2014, Parlemen membentuk Pansus RUU Masyarakat Adat. Hingga kini belum ada titik temu.
“Pengurus Negeri ini perlu menunjukan tindakan keberpihakan yang nyata atas situasi Masyarakat Adat yang selama beberapa generasi menjadi korban ketidakadilan atas kebijakan sumberdaya alam di Indonesia,” kata Arman menegaskan.
Sementara itu, Bona Beding dari KIARA menambahkan, penundaan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat jelas akan berdampak pada semakin lamanya masyarakat adat mendapatkan kepastian hukum. Baik statusnya sebagai subjek hukum maupun kepastian hukum atas beragam hak yang melekat pada mereka.
Ketidakpastian hukum atas nasib Masyarakat Adat di atas perahu besar Republik Indonesia pun terbayang akan berlanjut pasca Pemilu 2019.
Berdasarkan kajian Madani (2018), kedua pasangan calon Presiden-Wakil Presiden tidak mempunyai visi-misi yang kuat atas jaminan hukum bagi Masyarakat Adat.
Visi-misi Paslon Prabowo-Sandi tidak sedikitpun menyinggung perihal masyarakat adat. Sementara visi-misi Paslon Jokowi-Ma’aruf menitikberatkan hanya pada pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat, tanpa menyebutkan produk hukumnya.
Tinggalkan Balasan