Kartini dan Tantangan Berat Perempuan Adat

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Potret perempuan lanjut usia di Kampung Adat Prai Ijing di Desa Tebara, Kecamatan Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Rabu (24/4/2019).

Setelah lebih dari seabad perjuangan Kartini membebaskan perempuan dari belenggu penindasan, para perempuan adat masih menghadapi sejumlah tantangan berat. Mereka berjuang mempertahankan wilayah adat di daerahnya.

Oleh: SONYA HELLEN SINOMBOR

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara terus berkembang menjadi organisasi masyarakat adat yang diperhitungkan di Indonesia dan di dunia. Hingga kini sejumlah tantangan berat dihadapi perempuan adat di berbagai wilayah.

Setelah lebih dari seabad perjuangan Kartini membebaskan perempuan dari belenggu penindasan, para perempuan adat di berbagai wilayah masih mengalami diskriminasi. Tak hanya mengalami peminggiran dan stigma, dalam konflik wilayah adat, kaum perempuan paling banyak dikorbankan.

”Bahkan, perempuan sengaja digunakan sebagai target untuk mencelakai si perempuan pejuangnya dan melemahkan kampung,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi pada Hari Kebangkitan Perempuan Adat Nusantara dan Peringatan 9 Tahun Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (Perempuan AMAN) yang diadakan secara daring, Jumat (16/4/2021).

Dalam beberapa tahun terakhir, perempuan adat yang berada di garda terdepan mempertahankan wilayah adatnya menghadapi berbagai tekanan. Di saat yang sama, di kalangan masyarakat adat, posisi dan peran perempuan adat masih disepelekan atau dianggap tidak penting.

Kondisi itu mendorong AMAN membentuk organisasi sayap, seperti PEREMPUAN AMAN. Sebab, dalam praktik di lapangan, perempuan masih disingkirkan. Bahkan, saat ada pertemuan, perempuan adat tidak hadir karena suaranya dianggap tidak penting.

Perempuan menjadi sasaran yang dengan sengaja digunakan sebagai target bukan hanya untuk mencelakai si perempuan pejuangnya. melainkan juga melemahkan kampung.

Hal itu menjadi alasan pendirian Perempuan AMAN sebagai organisasi sayap, yakni untuk memberikan kesempatan peran, memberikan tempat, organisasi, dan forum buat perempuan adat untuk bisa bersekutu, berkonsolidasi, menyatukan langkah.

”Bukan untuk memastikan peran mereka kuat di dalam organisasi, melainkan yang paling penting adalah perannya diakui dan semakin kuat di kampung-kampung,” kata Rukka yang hari itu membakar semangat para perempuan adat agar tidak menyerah atas segala tekanan yang dihadapi.

Pada Hari Kebangkitan Perempuan Adat Nusantara Ke-9 yang juga rangkaian Temu Nasional III Perempuan AMAN yang mengusung tema ”Meneguhkan Kehadiran Perempuan Adat dalam Pengambilan Keputusan”, Ketua Umum Perempuan AMAN Devi Anggraini juga mengungkapkan, tak mudah untuk menjaga dan memelihara ruang perempuan adat. Sejak awal berdiri pada 2012 Perempuan AMAN terbentuk, perempuan adat menghadapi tantangan berlapis.

”Setelah sembilan tahun, organisasi Perempuan AMAN menguatkan perannya sebagai rumah bagi perempuan adat untuk mengonsolidasikan gagasan dan cita-cita bersama mewujudkan kehidupan berkeadilan dan setara dalam kehidupan masyarakat adat yang berdaulat, mandiri, dan bermartabat,” kata Devi.

AFP/JOHAN ORDONEZ
Perempuan Adat turut dalam demonstrasi menuntut hak yang lebih besar bagi perempuan bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional di Guatemala City, Guatemala, Senin (8/3/2021).

Pembatasan keterlibatan

Hingga saat ini, menurut Devi, 2.479 anggota terkonsolidasi dalam 58 wilayah pengorganisasian Perempuan AMAN. Perempuan AMAN menjadi ruang bagi perempuan adat untuk membongkar identitas diri sebagai perempuan adat, menemukenali kekuatan yang diletakkan pada wilayah kelola perempuan adat di dalam wilayah adat, pengetahuan, dan otoritas sebagai bangunan identitas politik perempuan adat.

”Pembatasan keterlibatan perempuan adat dalam proses pengambilan keputusan dan posisi strategis di komunitasnya menjadi fokus utama perubahan yang akan didorong oleh Pengurus dan Anggota Perempuan AMAN,” kata Devi seraya menyebutkan Laporan Gender Base Violence Perempuan AMAN yang menunjukkan 90 persen pembangunan di wilayah adat tidak melibatkan perempuan adat.

Oleh karena itu, bertepatan dengan peringatan 9 tahun, Perempuan AMAN bertekad akan terus berjuang dan meneguhkan kehadirannya untuk mendapatkan hak yang sama dan setara dengan warga negara lainnya.

Perjuangan tak akan berhenti, sebaliknya perempuan adat akan terus hadir di berbagai ruang pengambilan keputusan. Perempuan adat juga akan terus memperjuangkan hak untuk berpatisipasi dalam pengambilan keputusan, hak untuk mengatur, mengelola, memanfaatkan, dan merawat wilayah kelola perempuan adat dalam wilayah adat, serta hak menggunakan, mengontrol, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan tradisional yang dimiliki.

Perempuan Adat menganyam kain tenun, Rendu Nusa Tenggara Timur (NTT)

Dilindungi konstitusi

Dari sisi konstitusi, sebenarnya keberadaan masyarakat adat sudah mendapat pengakuan dari negara, yakni pada Pasal 18 B Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang jelas mengamanatkan ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.”

Namun, meski sudah diatur UU, kenyataannya masyarakat adat masih terus memperjuangkan tersedianya payung hukum yang menjaminkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Praktik diskriminasi, kekerasan,  bahkan kriminalisasi tak kunjung habis.

Bukan hanya itu, hingga kini data yang terkait masyarakat adat belum tersedia negara. Akibatnya, menurut Rukka, masyarakat adat termasuk perempuan adat tetap tertinggal dalam pembangunan.

Di sejumlah daerah, komunitas perempuan adat mencoba mendata anggotanya dan mengajukan kepada pemerintah setempat. Seperti yang dilakukan Meiliana Yumi (anggota Perempuan AMAN, Menteng, Sumatera Utara). Bersama pengurus kampung, pada tahun 2014, para perempuan adat, mendata perempuan adat untuk menunjukkan eksistensi mereka.

Tak hanya itu, sejak tahun 2017 mereka mengajak para laki-laki untuk kembali mengelola lahan adat. Bahkan, di tahun 2018 kami sudah menanam sayuran secara kolektif. ”Perempuan adat juga tidak berhenti, kami berbagi tugas yang di kampung menanam, kami mulai mendorong agar pemerintah mengakui keberadaan kami,” ujar Meiliana.

Baca juga: Lagi, Keributan Terjadi antara Masyarakat Adat Pubabu dan Pemprov NTT

Dari proses data dan keberadaan perempuan di wilayah adat yang terus dilakukan, akhirnya membuahkan pengakuan dari pemerintah, berupa surat keputusan pemerintah desa setempat. Awal tahun 2010 kami berhasil menduduki wilayah adat. Pada tahun 2016, Perempuan Adat juga ikut mengawal Rancangan Peraturan Daerah Masyarakat Adat dengan terus berdialog dengan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.

Perjuangan perempuan adat masih panjang. Selain meraih pengakuan atas keberadaannya, secara internal mereka mengalami tekanan dan belum banyak mendapat pengakuan.

Hingga kini patriarki dan feodalisme menghantui kehidupan perempuan adat baik dari dalam komunitasnya maupun dari luar. Kondisi itu menempatkan perempuan adat sebagai kelompok tidak terlihat sering kali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan. Data dan dokumentasi mengenai perempuan adat pun minim yang dapat dirujuk.

Mewujudkan pengakuan terutama kesetaraan di kalangan Perempuan Adat masih membutuhkan perjuangan panjang.

Editor: EVY RACHMAWATI

Sumber: https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/04/22/kartini-dan-tantangan-berat-perempuan-adat/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *