Masyarakat Adat adalah Pondasi Bangsa Indonesia:

Enam Poin Penting Masukan Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat. PB AMAN diwakili oleh Abdi Akbar Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat dan Monica K. Ndoen Divisi Kasus; PEREMPUAN AMAN diwakili oleh Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi; Erwin Dwi Kristianto, Koordinator Advokasi dan Kampanye; dan Andre perwakilan Kemitraan. (24/09/2018)

 

Jakarta, DPR RI-Keberlanjutan RUU Masyarakat Adat kini telah dalam tahap menunggu Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah. Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat sebelumnya mengajukan surat audiensi kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Surat ini berisi poin-poin penting gagasan pokok (Policy Briefing) yang terkait dengan RUU Masyarakat Adat untuk menjadi pertimbangan masuk ke dalam RUU tersebut.  Audiensi ini telah berlangsung pada tanggal 24 September 2018, pukul 15.00-16.00 WIB di Ruang Rapat Baleg, Nusantara I DPR RI.

Audiensi dihadiri oleh tujuh fraksi. Anggota yang hadir menandatangani daftar hadir 20 orang, sedangkan izin dua orang. Agenda audiensi ini terdiri atas paparan dari perwakilan Koalisi, tanya jawab dari anggota fraksi maupun Koalisi dan penutup. Rapat ini tidak mengikuti kuorum, melainkan terbuka untuk umum.

Koalisi ini terdiri 19 Organisasi Masyarakat (ORMAS) dari beberapa individu di dalamnya yang mengawal RUU Masyarakat Adat. Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi PEREMPUAN AMAN memberikan paparan singkat mengenai Policy Brief terkait RUU Masyarakat Adat masukan dari Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat. “Koalisi memberikan masukan enam pokok poin penting yang harus hadir dalam RUU Masyarakat Adat,” ujarnya.

Muntaza, Direktur Program dan Komunikasi PEREMPUAN AMAN perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat menyampaikan enam poin penting masukan Koalisi di Baleg DPR RI (24/09/2018).

Pertama adalah judul RUU Masyarakat Adat, yakni Masyarakat Hukum Adat. Pada judul tersebut Koalisi mengkritisi akan ada beban konstitusi ketika RUU ini hanya fokus kepada Masyarakat Hukum Adat. “Kami mengusulkan bahwa sebaiknya judulnya adalah RUU Masyarakat Adat. Mengapa demikian? Kami melihat judul RUU Masyarakat Adat ini mengakomodir dua nomenklatur dalam konstitusi yang sebetulnya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional,” terangnya.

Ketika RUU Masyarakat Hukum Adat tetap dipertahankan sebagai judul, Koalisi  khawatir bahwa akan ada beban pemerintah untuk mengeluarkan produk perundang-undangan mengenai Masyarakat Tradisional. Sebab, Koalisi menyoroti konstitusi. Muntaza menjelaskan bahwa tantangan Masyarakat Tradisional adalah tidak ada kajian akademis yang berbicara secara nomenklatur. Maka, Koalisi berpendirian teguh untuk mengusulkan ide RUU Masyarakat Adat yang mengakomodir Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Tradisional.

Kedua, dalam draf RUU Masyarakat Adat menyoal proses registrasi atau pendaftaran. Koalisi melihat proses pendaftaran merupakan tindakan positif pemerintah untuk mengakui Masyarakat Adat. Tetapi,  Koalisi mengusulkan, sebaiknya prosesnya mudah bagi Masyarakat Adat untuk dapat menyatakan dirinya sebagai Masyarakat Adat. Sama seperti di dalam Deklarasi PBB terkait Hak-Hak Masyarakat Adat, perwakilan Indonesia telah menandatanganinya. Salah satunya adalah tentang self identification atau identifikasi diri.

“Bagi kami proses pendaftaran ini mudah untuk Masyarakat Adat. Proses ini juga murah, jangan membebani APBN. Lalu legitimasi, artinya bisa dipertanggungjawabkan dan mempunyai kekuatan hukum,” ujarnya.

Koalisi juga menyoroti bahwa di dalam proses pendaftaraan ada satu tahapan, yaitu evaluasi. Koalisi meyakini Masyarakat Adat adalah pondasi dari Bangsa. Mereka adalah bagian dari Republik Indonesia. Ketika ini dihapus dan dievaluasi Koalisi khawatir justru sedang mengoreksi Bangsa ini. Koalisi mengusulkan bahwa evaluasi lebih banyak diletakkan dalam proses implementasi perundang-undangan dalam hutan.

Ketiga, menyoal kelembagaan. Koalisi mengusulkan bahwa kelembagaan perlu diatur dalam RUU Mayarakat Adat. Karena dalam praktiknya, ada 13 Kementrian yang berbicara tentang Masyarakat Adat. Namun, ketika ada masalah dalam Masyarakat Adat tidak ada Kementrian yang memunculkan nomenklatur untuk Masyarakat Adat. “Kami merasa bahwa perlu adanya Komisi Nasional Masyarakat Adat. Yang tercantum dalam RUU Masyarakt Adat,” pungkasnya.

Kelima, menyoal remedi dan rehabilitasi. Koalisi menyadari bahwa hubungan Masyarakat Adat di masa lampau ada masalah. Kemudian, mempunyai konsekuensi hingga saat ini. Koalisi menekankan harus ada satu komitmen di dalam RUU ini untuk bagaimana caranya membuat Masyarakat Adat menjadi bagian dari Bangsa ini.

Keenam menyoal kesetaraan gender. Koalisi menyadari bahwa dalam Masyarakat Adat masih banyak kekerasan terhadap Perempuan Adat. “Misalnya, Papua, tahu betul masih banyak praktik potong tangan. Perlu dibuat eksplisit di dalam RUU MA ada kesetaraan gender. Sayangnya di dalam kesepakatan Baleg kesetaraan gender dihapus dan dinyatakan sebagai kesetaraan,” tegasnya.

Bagi koalisi, kesetaraan gender sangat penting untuk mengikat Masyarakat Adat dapat terlibat di dalam Bangsa dan Negara Indonesia. “Jangan sampai melakukan pelanggaran HAM di dalam Perempuan Adat dan kelompok-kelompok sosial di dalamnya,” tutupnya. (Ageng Wuri)

Dokumentasi: Ageng Wuri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *