Bogor, 16/12/2016. Salah Satu Misi Persekutuan Perempuan Adat Nusantara – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) adalah membela dan memperjuangkan pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan adat serta penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adat. Menghadirkan narasi perempuan adat terkait sumberdaya alam merupakan satu bagian dari upaya untuk merealisasikan misi PEREMPUAN AMAN tersebut. Harapan ke depannya pengalaman perempuan adat tidak lagi ditinggalkan atau tenggelam oleh narasi besar advokasi kebijakan sumberdaya alam.
3 Perempuan Adat yang menjadi Narasumber salah satunya adalah Wilhelmina Seni menceritakan hasil tulisannya yaitu “Tentang Hidup dan Penghidupan Perempuan Adat di Tanah Adat Rendu Butowe” tentang 2 perempuan adat menjadi kisah yang memberikan motivasi bagi Perempuan Adat di seluruh nusantara dalam memperjuangkan hak mereka sebagai Perempuan Adat. “Mempertahankan hidup tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi dengan status janda yang memiliki anak. Mama Imelda Dheta dan anak sulungnya, Hermina Mawa, keduanya menjalani hidup sebagai orangtua tunggal bagi anak-anak mereka, setelah ditinggal mati oleh suami tercinta. Aku mendengar dari cerita warga bahwa kedua mama ini adalah penggerak yang membuat perempuan-perempuan di Desa Rendu Butowe berani menghadapi Pemerintah Nagekeo dan aparat kepolisian yang masuk secara paksa ke lokasi pembangunan Waduk Lambo. Tanpa diperintah, dikomando atau direncanakan untuk melawan pemaksaan aparat, dengan sigap delapan orang perempuan membuka baju dan bertelanjang dada. Aksi ini didahului oleh Mama Imelda Dheta, kemudian diikuti oleh Mama Hermina Mawa, dan 6 mama lainnya. Mereka melihat Ibu Noben da Silva dipukul tangannya oleh aparat yang tidak memakai seragam dinas. Atas dasar itu, aku kesana untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh perempuan perempuan di Desa Rendu Butowe yang selalu siap mempertahankan tanah tumpah darahnya.”
Penggalan Cerita Tentang Bagaimana perjuangan Perempuan adat dari Desa Rendu Butowe yang menolak pembangunan waduk yang berdampak buruk bagi wilayah kehidupan mereka yang selama ini berasal dari sungai Lowose membelah wilayah adat Rendu kita terancam kembali. Rencana pembangunan waduk lambo ini sudah di canangkan pada tahun 2002 dan tahun itu juga sudah ditolak oleh masyarakat setempat. Pada tahun 2002 itu nama waduknya adalah Mbaiy, tetapi lokasinya tetap sama setelah ditolak tahun yang sama di kabupaten Ngada. Di tahun 2005, maka terbentuklah kabupaten Nagakeo. Pada tahun 2015 kemarin dicanangkan kembali pembangunan waduk lambo pada lokasi yang sama yaitu di Lowose kabupaten Nagakeo. Ancaman dan Intimidasi tidak membuat perjuangan mama Imel dan mama Mince merebut wilayah adat mereka berhenti begitu saja. Perlawan mereka menjadi semangat bagi seluruh anggota komunitas adat untuk menolak pembangunan waduk.
pengalaman perempuan adat atas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya sangat beragam. Hal tersebut memperlihatkan pada kita bahwa isu sumberdaya alam bagi perempuan adat bukan sekedar soal kebijakan lokal, nasional dan internasional. Malah, bagi perempuan adat isu sumberdaya alam erat dengan kehidupannya sehari-hari, pengetahuannya, dapurnya bahkan tubuhnya.
“Menghadirkan narasi Perempuan adat atas ruang hidupnya” diharapkan dapat membuka lebar ruang bagi perempuan adat menuturkan pengalaman dan pengetahuannya atas ruang hidupnya. Selain itu menghadirkan pengalaman dan pengetahuan perempuan adat terkait sumberdaya alam kepada kalangan publik. FN
menghadirkan-narasi-perempuan-adat-atas-ruang-hidupnya_draft
Tinggalkan Balasan