PAKAIAN ADAT BUKAN KOMODITAS POLITIK

Apakah dengan memakai pakaian adat, dianggap menjadi sebuah penghormatan untuk Masyarakat Adat?! Atau tindakan mempolitisasi simbol-simbol Masyarakat Adat untuk kepentingan tertentu saja??

“Pakaian Masyarakat Adat digunakan. Terlihat seolah-olah Masyarakat Adat dimuliakan dengan pakaian yang digunakan dalam perayaan-perayaan kenegaraan. Tetapi di balik itu, pada saat yang sama kekerasan terhadap Masyarakat Adat terus terjadi,” ungkap Sekretaris Jendral (Sekjend) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi.

Sumber Foto: https://brilistyle.brilio.net/

Tahun 2014 merupakan harapan yang besar bagi Masyarakat Adat karena calon presiden Bapak Jokowi dan wakil presiden Bapak Yusuf Kala membuat program kerja yang dikenal dengan Nawacita. Terdapat 6 poin janji Jokowi kepada Masyarakat Adat.  Saat memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, hal yang sama kembali terulang. Pemerintah Indonesia selama 8 tahun mulai dari Presiden, Menteri sampai Pemerintah Daerah bahkan menetapkan peraturan pada hari tertentu diwajibkan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) menggunakan baju adat. Ketika perayaan kemerdekaan bangsa,  Presiden Jokowi menggunakan baju adat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Ironisnya, sehari kemudian Komunitas Adat Basipae di Nusa Tenggara Timur mengalami kekerasan, diserang dan rumah-rumah dihancurkan. Keluarga-keluarga, perempuan dan anak terlantar dan hak mereka diabaikan.

Sumber Foto: PEREMPUAN AMAN (Proses pembuatan kain tenun, Perempuan Adat Rendu NTT)

“Sebetulnya banyak sekali penanda-penanda yang digunakan oleh negara, dengan simbol-simbol pakaian adat yang sejauh ini hanya dilihat sebagai penandanya saja untuk sekedar menghormati Masyarakat Adat,” ungkap Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini. Tapi, tidak pernah dibayangkan bahwa dibalik dari selembar kain itu sesungguhnya ada banyak tahapan yang dilalui perempuan adat sebagai bagian membangun peradaban bangsa. Peradaban yang dibangun melalui proses panjang oleh komunitas-komunitas adat untuk menempatkan falsafah Bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika itu. Namun, yang dinikmati oleh banyak orang hanya pada proses penandanya saja. Kemudian dikomodifikasi menjadi bagian ekonomi yang kapitalis.

Sumber Dokumentasi: PEREMPUAN AMAN (Motif Tenun Boti, Nusa Tenggara Timur)

Dari selembar kain proses untuk menghasilkannya dapat menghadirkan bagaimana perempuan adat  mengelola wilayah adatnya. Perempuan Adat mengambil seluruh bahan baku yang tersedia di wilayah adatnya mempraktikan dan mengembangkan pengetahuannya untuk pemenuhan bukan hanya sandang dan pangantapi mematikan tanggungjawab sosial dalam komunitasnya terpenuhi.  Hal tersebut adalah tindakan-tindakan politik perempuan adat membuat keputusan penting tentang hidup sehari-hari. Seperti halnya bertani, memilih benih, dan memastikan keluarga mendapatkan suplai makanan yang cukup dan kontribusi pada kampung komunitasnya. Sayangnya proses tersebut tidak dilihat sebagai kerja politik, dan tidak dilihat sebagai bagian membangun komunitas!.

Berhubungan dengan masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, menjadi sangat relevan jika kita mengatakan bahwa masa depan Indonesia ada di tangan kita. Di tangan Masyarakat Adat, petani, para buruh, dan nelayan. Itulah mengapa saya mengajak kita semua bergandengan tangan untuk merebut kembali negara ini dari ancaman pemaksaan RUU Omnibus Law yang akan memangsa masa depan Indonesia. Solidaritas adalah kekuatan kita,” jelas Rukka.

-PEREMPUAN AMAN-


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *