Penantian Daftar Inventarisasi Masalah RUU Masyarakat Adat

Wakil Ketua Baleg DPR RI, Arif Wibowo.

Upaya negara dalam memberikan perlindungan hukum kepada hak-hak Masyarakat Adat masih lemah. Sering kali, Masyarakat Adat dikalahkan dalam proses hukum. Pada tanggal 24 September 2018, di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR Republik Indonesia, Wakil Ketua Baleg DPR RI, Arif Wibowo mengatakan, kehadiran negara diperlukan dalam mengakomodir dan menjamin Hak-Hak Masyarakat Adat. Menurutnya, kehadiran RUU Masyarakat Adat dalam jangka panjang bisa menguatkan posisi Masyarakat Adat.

Namun, kenyataannya Baleg masih mengumpulkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah. “Kita sementara mengumpulkan masukan dari berbagai pihak. Intinya semenjak awal RUU ini diikhtiarkan untuk melindungi dan meneguhkan eksistensi Masyarakat Hukum Adat sebagai pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Arif saat menerima audiensi Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Rancangan menyangkut Wilayah Adat, menurut Arif akan segera diadministrasikan oleh pemerintah dan juga pengaturannya. “Jangan sampai juga bertentangan dengan UU Desa yang juga mengatur wilayah adat,” ujarnya.

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal RUU Masyarakat Adat di Baleg DPR RI. (24/09/2018)

Selama ini, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria belum terimplementasikan dengan baik. Sebab, keberadaan masyarakat adat telah diakui dalam konstitusi maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hingga saat ini penjabaran dari UU tersebut belum ada.

Muhammad Nurdin, anggota Komisi dari Fraksi PDIP memberikan pertanyaan kepada Koalisi soal masalah desa dengan Mendesa dan urusan adat dengan Mendagri. Monica K. Ndoen, Divisi Kasus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menjelaskan di dalam UU Desa juga mengatur tentang Desa Adat. Permasalahan yang muncul dalam UU Desa bagi Masyarakat Adat adalah soal batas administratif. Wilayah adat atau biasa  disebut Komunitas Adat, pada satu komunitas itu dapat terdiri dari dua Kabupaten. Satu Kabupaten, ada beberapa Komunitas atau kelompok Masyarakat Adat. Kemudian, di Kasepuhan ada di dua Provinsi.

 

Monica K. Ndoen Divisi Kasus AMAN.

 

“Ketika UU Desa dipaksakan untuk megatur semua komunitas-komunitas Masyarakat Adat. Maka itu akan memecah belah mereka sendiri. Akan ada konflik horizontal. Misalnya ada satu komunitas di dua kabupaten ketika mau dijadikan desa adat, apakah mereka terpisah menjadi dua?  Harus mengikuti batasan administrasi atau seperti apa? Itu yang nggak ketemu di UU Desa. Jadi kita mencoba menyederhanakannya dengan RUU Masyarakat Adat ini,” jelasnya.

RUU Masyarakat Adat hadir ingin memberikan solusi agar negara dapat lebih cepat dalam mengimplementasikan konstitusi 18 B tentang pengakuan terhadap Masayarakat Adat dan peran aktif mereka. Pasca putusan MK 35 2012 sampai sekarang bukan PERDA yang terbentuk. Padahal ini bukan mandat konstitusi. RUU Masrayakat Adat diharapkan sebagai upaya ingin memisahkan dan mengurangi kekuasaan negara. Masyarakat Adat harus segera diatur melalui RUU ini. Karena, 73 tahun Indonesia merdeka Masyarakat Adat Indonesia belum juga diakui dan hadir di tengah-tengah Negara. (Ageng Wuri)

Dokumentasi: Ageng Wuri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *