Bogor, perempuanaman.or.id–Burung-burung besi itu membawa 25 Perempuan Adat secara terpisah dari lima region di seluruh Nusantara. Ada 25 Perempuan Adat diundang khusus oleh PEREMPUAN AMAN (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara) untuk mengikuti: Dialog Nasional dan Pelatihan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs atau Suistainable Development Goals) 2018. Peserta yang mengikuti kegiatan tersebut, termasuk perwakilan Dewan Nasional PEREMPUAN AMAN dan utusan 20 wilayah pengorganisasian
Pagi itu, ruangan rapat Hotel Arch Bogor, Jawa Barat, terasa berbeda. Pembukaan acara Dialog Nasional dan Workshop SDGs pada tanggal 14 Agustus 2018 diramaikan oleh perempuan yang mengenakan pakaian adat. Masing-masing pakaian adat memiliki keunikannya, dari motif, warna, cara pembuatan dan makna filosofi di balik pakaian itu. Namun, yang paling utama adalah perempuan-perempuan yang mengenakannya. Mereka adalah penjaga ketahanan hidup keluarga dan komunitasnya.
Hadir pula dua pembicara, yaitu Sylvana Maria Staf Kepresidenan Republik Indonesia dan Hamong Santono Senior Program Officer Human Rights & Democracy, International NGO Forum Indonesian Development (INFID). Sylvana Maria dalam isu SDGs sedang mendorong leadership di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Ia juga memberi masukan kepada KPPPA tentang gender dan SDGs.
Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini dalam sambutannya mengatakan bahwa kawan-kawan Perempuan Adat yang hadir adalah perempuan yang telah bekerja dengan SDGs. Menurutnya, Perempuan Adat sesungguhnya telah bekerja dengan pembangunan berkelanjutan, bahkan sebelum SDGs dikumandangkan secara global. “Jangan ajari kami apa itu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) karena itu bagian dari hidup kami sebagai Perempuan Adat. Sekarang siapa yang beri makan dan menyediakan dapur terus berasap? Perempuan Adat !”
Hasil alam dan tanah ulayat adalah milik masyarakat adat. Kampung adat memiliki hasil alam yang baik. Jika bukan Perempuan Adat yang memberi manfaat dan memelihara alam secara berkelanjutan. Lalu, siapa lagi? Namun, menjadi ironi bila pengetahuan itu tidak mendapat pengakuan. Bahkan hingga kini. Perempuan Adat dan pengetahuannya belum mempunyai tempat.
Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) belum menjangkau untuk memenuhi hak-hak kolektif Perempuan Adat. Dalam Dialog Nasional tersebut, Devi mewakili Perempuan Adat mengajak pemerintah dan masyarakat bahwa mari berdiskusi bersama dengan Perempuan Adat bahwa pembangunan berkelanjutan adalah bagian dari keseharian mereka.
“Manfaatnya telah kami terima dan jangan tinggalkan kami karena keberlanjutan bangsa ini ada di tangan Perempuan Adat . Yang memastikan anaknya mampu bertahan hidup di tanahnya sendiri adalah kami. Ini yang ingin kami sampaikan kepada pemerintah dan kawan lain bahwa yang kami tahu untuk pembicaraan ini untuk semua pihak, termasuk korporasi,” jelasnya.
Dalam diskusi ini, Rosina Wonga (47) dari PHKom Komunitas Perempuan Adat Tanah Rendu (Kompetar), Nusa Tenggara Timur (NTT) menyuarakan keluh kesahnya. Ia teringat lokasi pembangunan Waduk Lambo di sana menjadi masalah dan sangat berdampak besar bagi masyarakat setempat. “Kami merasa belum merdeka. Menyangkut pembangunan waduk, kami bukan pembangkang! Kami setuju dengan pembangunan. Kami tawarkan alternatif. Tetapi kenapa pemerintah tidak dengar,” ujarnya.
Pembangunan waduk seluas 431,91 hektar itu merupakan lokasi yang terdapat banyak artefak budaya dan sosial. Selain itu, sekitar 5000 warga di desa Rendu Butowe, Labolewa dan Ulupa terancam akan kehilangan tanah adat. Mama Ros merupakan perwakilan dari PHKom Komunitas Perempuan Adat Tanah Rendu (Kompetar), NTT.
Sejak 2015 sampai sekarang, Rosina Wonga mengungkapkan bahwa mereka selalu dikawal oleh satpol PP, Polisi, dan Brimob. Ia meminta dengan hormat kepada Sylvana Maria sebagai staf kepresidenan untuk memulangkan satuan Brimob itu, agar mereka jalankan tugas sesuai sumpah jabatan.“Kami dari Rendu bukan penjahat atau komplotan,” tuturnya. Lalu, Rosina bertanya kepada pemerintah: “Apakah Perempuan Adat tak punya hak untuk bicara? Karena selama ini pemerintah tak pernah dengar usul dan saran Perempuan Adat ?”
TPB memiliki 17 gol diantaranya adalah menghapuskan kemiskinan, soal kelaparan, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, akses air bersih, energi, pertumbuhan inklusif, infrastruktur, ketimpangan, kota yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, iklim, ekosistem laut, ekosistem darat, akses terhadap keadilan masyarakat yang damai, dan kemitraan antar-pihak. Hamong Santono dalam diskusi gol TPB memberi saran untuk menambahkan pengetahuan Perempuan Adat sebagai isu penting yang ada di Indonesia.
Salah satu target untuk Perempuan Adat , menurut Hamong, adalah akses atau jaminan terhadap akta kelahiran. Dalam konteks keikutsertaan bangsa Indonesia dalam TPB Agenda 2030 menjadi sangat penting. “Ketika Perempuan Adat bisa memperoleh itu, maka satu tujuan pada pengakuan atau kesetaraan Perempuan Adat , jadi bukti indikator,” ujarnya.
Sylvana menanggapi keluh kesah Rosina Wonga dari PHKom Kompetar, Rendu, NTT. Ia sendiri baru mendengar kasus itu. “Kantor kami sangat terbuka dan kami tak pernah menolak warga yang datang, meski kami tak punya wewenang menyelesaikan kasus. Kami tak bisa intervensi. Tapi kami mempunyai wewenang untuk fasilitasi proses diskusi dan negosiasi,” ujarnya. Kantor Staf Kepresidenan menurutnya terbuka dan tidak sedikit masyarakat datang mengadu. “Kalau kasus Rendu ini ada pengaduan tertulis dan ada dokumen kronologis peristiwa tersebut, saya bersedia menerima datanya,” ujarnya. (Ageng Wuri)
Editor: Nurdiyansah Dalidjo
Foto oleh Ageng Wuri.
Tinggalkan Balasan