Oleh: INGKI RINALDI
JAKARTA, KOMPAS (3/7) — Hak-hak kolektif perempuan adat hingga sejauh ini belum diwadahi dalam sebuah undang-undang. Hal ini membuat Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang kini masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020 di DPR mendesak untuk didorong pembahasannya.
Perempuan Adat Haringen PHD di Barito Timur, Kalimantan Tengah, Niliani, dalam diskusi daring pada Kamis (2/7/2020) mengatakan, saat ini perempuan adat di Barito Timur dalam keadaan waswas dan terancam. Pasalnya, ada pelarangan bagi kaum perempuan melakukan pembakaran lahan untuk berladang.
Pelarangan ini mengakibatkan adanya ancaman jeratan hukum bagi kelompok perempuan tersebut. Padahal, masyarakat membutuhkan berladang demi kelangsungan hidup. Selain itu, selama ini, masyarakat adat setempat juga memiliki pengetahuan bagaimana melakukan pembakaran lahan yang ideal dan tidak merusak lingkungan serta batas-batas alam yang ada.
Perempuan adat di Barito Timur dalam keadaan waswas dan terancam. Pasalnya, ada pelarangan bagi kaum perempuan melakukan pembakaran lahan untuk berladang.
Niliani menambahkan, sejumlah pengetahuan dalam berladang selama ini juga tetap dipelihara para perempuan adat sebagai bagian dari perlindungan sumber daya alam yang ada. Salah satu di antaranya dengan mempraktikkan penanaman singkong di ladang yang kelak bakal ditanami padi. Hal ini dilakukan untuk menghindari perusakan tanaman padi yang kerap dilakukan monyet dan babi.
”(Karena itu) Segera sahkan RUU Masyarakat Adat sebagai perlindungan bagi masyatakat adat,” sebut Niliani dalam diskusi bertema ”Perempuan Adat dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”, yang diselenggarakan Perempuan AMAN.
Direktur Rimbawan Muda Indonesia-The Indonesian Institute for Forest and Environment Mardha Tillah menyatakan, selama ini cenderung tidak ada pelibatan terhadap perempuan adat terkait pemanfaatan sumber daya alam yang sebagian di antaranya menjadi ruang hidup bersama. Misalnya saja tatkala ada perluasan batas-batas tertentu taman nasional.
”Perempuan (adat) tidak memiliki ruang membicarakan nasib mereka,” sebut Mardha.
Sosial ekologis
Pengajar Program Studi Kajian Gender SKSG (Sekolah Kajian Stratejik dan Global) Universitas Indonesia, Mia Siscawati, dalam diskusi tersebut juga mengatakan, selama ini wilayah adat dan perempuan adat berada dalam kondisi antara ada dan tiada. Wilayah adat, imbuh Mia, sebagian besar berada di wilayah yang diklaim sebagai wilayah negara dengan berbagai peruntukannya. Termasuk di dalamnya untuk perusahahaan, konservasi taman nasional, dan sebagainya.
”Wilayah adat itu ada, tapi kemudian mereka dianggap tiada dalam konteks kebijakan,” kata Mia menambahkan.
Sebagian hal tersebut memunculkan krisis sosial ekologis di wilayah masyarakat adat. Krisis sosial ekologis ini, imbuh Mia, mendorong dan melanggengkan ketidakadilan jender.
Perempuan adat menjadi korban menyusul terjadinya sejumlah tekanan seperti tingkat kesehatan reproduksi perempuan yang rendah. Lalu tingkat pendidikan yang juga rendah, tingginya perkawinan anak. Tingginya kematian bayi, meningkatnya perdagangan perempuan dan anak, dan meningkatnya kekerasan perempuan dan anak.
Di dalamnya, lanjut Mia, perempuan adat menjadi korban menyusul terjadinya sejumlah tekanan, seperti tingkat kesehatan reproduksi perempuan yang rendah. Lalu tingkat pendidikan yang juga rendah, tingginya perkawinan anak. Tingginya kematian bayi, meningkatnya perdagangan perempuan dan anak, dan meningkatnya kekerasan perempuan dan anak.
Sementara di sisi lain, perempuan adat cenderung dipaksa menjadi ada pada momen-momen tertentu. Misalnya pada saat pilkada. Bahkan keberadaan perempuan adat pada saat itu cenderung dikejar-kejar.
Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti Setianingsih, pada kesempatan yang sama, menyoroti ihwal pemiskinan perempuan dan penghancuran budaya melalui pencerabutan sumber-sumber kehidupan.
Dewi menekankan diperlukannya pengakuan tentang kejahatan kemanusiaan dan pemiskinan terhadap perempuan. Selain itu juga perlunya mencabut peraturan daerah dan kebijakan yang diskriminatif.
Tinggalkan Balasan