Catatan ini dipublikasikan sebagai upaya untuk menjangkau perempuan adat dan masyarakat adat yang kesulitan dalam mengakses video pidato Abdon Nababan “Perempuan Adat adalah Penopang Subsistensi Masyarakat Adat!!”
Selamat menikmati…
Pidato Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara periode 2012-2017 ini disampaikan di dalam Sarasehan “Menggugat Posisi Perempuan Adat di dalam Negara dan Masyarakat Adat”, Kongres Masyarakat Adat Nusantara Kelima di Kampong Adat Tanjung Gusta, Medan.
***
Pagi hari ini, saya diminta untuk menyampaikan pidato pengantar tentang topik sarasehan ini. Tentu sangat penting bagi kita. Saya ingin ingatkan ketika bicara Masyarakat Adat, kita bicara empat hal, yaitu identitas budaya, wilayah adat, pengetahuan adat, dan pranata adat seperti hukum atau lembaga adat.
Kita selama lima puluh tahun terakhir sangat intensif, mendalam, untuk mengalami proses Negara-isasi atau dinegarakan. Adat itu dimakan, dimangsa, dibuat menjadi bagian dalam kendali Negara. Pertama, soal identitas budaya kita yang di tingkat nasional dimonokulturkan, padahal kita beragam dan kaya dari sisi budaya, paling tidak [menurut] catatan sejarah lebih dari seribu seratus duapuluh delapan tahun. Di dalam suku itu hidup Masyarakat Adat sebagai pondasinya. Tetapi apa yang kita lihat? Itu di-Taman Mini-kan, adat sebagai tontonan, objek pariwisata; bukan tuntunan. Jika ada momen politik, budaya dipakai menjadi “putra daerah” yaitu dipolitisasi atau dikomersialisasi atau dianggap tidak ada. Jika tak ada yang bisa dijual, maka tidak ada saja. Kalau bisa dijual ya dipelihara, seperti pemberian gelar.
Kedua, wilayah adat kita pun dinegaraisasi. Lewat UU Kehutanan, diambil wilayah adat kita yang disebut hutan dan itu menjadi kawasan hutan. Dan 78% wilayah adat kita berubah menjadi hutan dan itu adalah hutan Negara.
Ketiga, pengetahuan adat kita dianggap terbelakang dan tidak ilmiah, mistik, magis, pokoknya yang buruk itu ditimpakan pada kita; perdukunan, berhala, kafir.
Keempat, pranata adat juga dinegarakan oleh desa-isasi; mendesakan Masyarakat Adat lewat UU Desa Tahun 1979. Kepala desa menjadi pemimpin dan tokoh adat tersingkir. Untuk dukung kepala desa, ada Babinsa dan tentara. Jadi kalau ada yang protes pada kepala desa itu berurusan dengan tentara. Di bidang ekonomi, agar bisa terkoordinir Masyarakat Adat, itu dipaksakan dengan KUD. Jadi aktivitas ekonomi yang ada di Masyarakat Adat itu menjadi lemah. Pranata yang penting adalah musyawarah yang kini dihancurkan. Padahal di sinilah energi utama Masyarakat Adat.
Sekarang, di dalam situasi negaraisasi yang begitu besar, kita bicara tentang perempuan adat. Banyak orang bicara AMAN ini genit! Bicara Masyarakat Adat mengapa tidak Masyarakat Adat saja? Lalu, kenapa bicara Perempuan Adat secara khusus. Saya ingin jelaskan, kalau kita amati dan membaca kajian tentang Masyarakat Adat, maka salah satu yang bisa kita temukan terkait kesimpulan umum tentang pengamatan itu adalah bahwa Perempuan Adat adalah pondasi subsistensi Masyarakat Adat. Perempuan adat adalah penopang utama dari pemenuhan kebutuhan dasar Masyarakat Adat.
Jangan bayangkan ada pangan yang cukup untuk Masyarakat Adat tanpa perempuan. Jangan bayangkan ada Masyarakat Adat yang sehat, obat-obat tradisional, tanpa Perempuan Adat. Juga pakaian atau sandang karena mereka yang menenun. Jadi kebutuhan dasar dipenuhi oleh Perempuan Adat. Jadi kalau ditanya, Perempuan Adat itu siapa, ya dialah akar dan pondasi subsistensi. Jadi kalau Masyarakat Adat dikenal oleh para peneliti itu Masyarakat Adat lebih condong pada subsistensi yaitu karena ada Perempuan Adat. Ini penting! Tetapi pondasi ini hancur karena wilayah adat tadi yang menjadi sumber dari pemenuhan kebutuhan subsistensi tadi itu sebagian besar dikelola oleh perempuan.
Situasinya berubah setelah industrialisasi. Setelahnya, sawit masuk, HTI masuk, tambang masuk, perempuan adat bukan hanya kehilangan wilayah kelola dan arena pengetahuan, bahkan kehilangan untuk mengatakan ya atau tidak [atas] hadirnya itu. Dalam masyarakat industrial, lelaki yang utama. Jadi kalau kita bicara di dalam kehidupan sehari-hari, kepala keluarga tetap saja lelaki, kecuali sudah tidak ada lagi. Walaupun sebenarnya kehidupan utama keluarga itu di perempuan. Jadi diambil alih.
Kedua, wilayah subsisten tadi kehilangan tempat di komunitas adat. Itulah domestikasi. Kemudian, berubah fungsinya hanya di seputar dapur karena lelaki berhak mengurusi keluarga, termasuk harga. Pembagian peran antara perempuan dan lelaki itu berantakan. Pengetahuan itu ada di tangan perempuan -meramu obat dan lainnya. Hilang karena tidak ada tempatnya.
Ini tantangan kita, bagaimana Perempuan Adat ini di tengah lingkungan yang berubah, tidak kehilangan peran. Jika kita mengikuti industrialisasi, perempuan adat akan kian kehilangan. Ciri utama industrialisasi kita, jika tak di tangan korporasi kepemilikannya, ya individu. Hak komunal tidak hidup. Lalu kepala keluarga akan menjadi segalanya. Di mana perempuan adat berdiri? Maka itu tantangan kita. Itu tantangan buat kita semua yang nanti diskusinya akan diantarkan oleh teman-teman.
Bagaimana perempuan adat ke depan? Agar kehilangan pondasi subsisten tadi tidak mematikan peran perempuan. Realitas lapangan, peran perempuan itu habis karena wilayah adat telah menjadi wilayah industri yang macho dan lelaki banget. Industrialisasi kita adalah yang dominan lelaki. Perempuan hidup di sana! Ada banyak arena bagi perempuan adat. Pertama, reposisi dalam komunitas adat. Jika komunitas menerima perampasan dan dominasi lelaki itu yang dibiarkan masuk ke komunitas adat, maka perempuan adat telah pasrah ditindas. Jadi, ketika kita bicara ini di tengah Masyarakat Adat, kita tidak sedang bicara perempuan melawan lelaki. Tetapi bagaimana perempuan dan lelaki menjadi suatu kekuatan bersama di dalam merawat dan mengurus kedaulatan komunitas. Tidak akan ada kedaulatan itu kalau perempuan tidak punya kekuatannya sendiri. PEREMPUAN AMAN sebagai organsiasi sayap juga begitu. Jadi peran utama di komunitasnya.
Kedua, ya tentu di AMAN yang juga didominasi oleh Masyarakat Adat yang sebagian besar sudah terindustrialisasi, telah termaskulinisasi yang segalanya harus lelaki. Kalau di kampung saya, ya Bapak saya tetap saja akan bilang ke Mamak karena yang punya semua ya Mamak di belakang. Kini lelaki tidak lagi menyerahkan pendapatan keluarga ke perempuan. Jadi mudah-mudahan gaji lelaki bisa diserahkan ke perempuan. Tantangan lain adalah di AMAN. Tidak mudah bagi perempuan adat itu seperti lelaki yang pergi ke mana-mana. Maka manfaatkan AMAN sebagai jembatan. Pengaruhi agenda AMAN agar agendanya betul-betul feminis. Jangan lelaki saja! Bukan soal rela atau tidak, justru di sanalah Masyarakat Adat yang pada dasarnya adalah feminis. Tapi industrialisasi lah, individualisasi, modernisasi yang aneh ini yang buat Masyarakat Adat jadi maskulin. Jadi AMAN menjadi penting.
Saya berharap organsiasi PEREMPUAN AMAN ini bisa merespon secara langsung hal spesifik terkait perempuan dan anak. Karena itu terkait keberlanjutan generasi di kampung yang kini diambil alih banyak oleh sekolah yang mengajarkan industri. Mata pelajaran dirancang agar anak-anak kita jadi buruh di perusahaan, bukan pelanjut orang tua dan tradisi. Semakin tinggi sekolah, semakin jauh dari kampung dan bisa jadi musuh adat dan orangtuanya. Maka peran perempuan adat sangat penting untuk memastikan pendidikan pra-sekolah adalah pendidikan adat dan tentang alam sekitar, tentang pangan, obat, dan lainnya.
Itu dulu dari saya. Masyarakat Adat berdaulat, mandiri, dan bermartabat.
Tinggalkan Balasan