Kampung Sawesuma
Kampung Sawesuma terletak di distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura dengan luas wilayah 223,5 km2. Memiliki jumlah penduduk sebanyak 308 orang, dengan penduduk perempuan sejumlah 155 dan penduduk laki-laki sebanyak 153. Desa Sawesuma merupakan kampung terakhir di Kabupaten Jayapura dan yang berbatasan dengan Kabupaten Sarmi. Untuk menuju Kampung Sawesuma bisa ditempuh melalui perjalanan darat baik dengan kendaraan roda dua ataupun roda empat. Jarak tempuh dari Pusat Kabupaten Jayapura yaitu Sentani menuju Kampung Sawesuma adalah 160 km dengan lama tempuh kira-kira 3-4 jam.
Secara umum Kampung Sawesuma memiliki bentang alam yang didominasi oleh hutan dan kawasan pertanian. Bentang alam berupa hutan mencakup 880 hektar. Kampung Sawesuma juga memiliki hutan lindung seluas 480 hektar. Selain itu, bentang alam kampung terdiri juga kebun tradisional. Kebun tersebut menjadi lahan bertani bagi masyarakat setempat (Bahri, et al. 2022). Selain memiliki bentang alam berupa hutan, kebun dan sungai, berdasarkan Tribun Papua.com (pada 17 Juli 2022), Kampung Sawesuma juga memiliki pantai pasir putih yang terletak di bagian utara Kampung Sawesuma terhubung dengan Kabupaten Sarmi tepatnya di Kampung Bonggo Timur. Pantai tersebut bernama Pantai Kaptiau.
Dikutip dari Bahri, et al. (2022) Sejarah Kampung Sawesuma berasal dari perkembangan sejarah Suku Sawe. Daerah Sawe, yaitu merujuk kepada nama sungai besar bernama Sungai Sawe. Daerah Sawe merupakan daerah yang memiliki wilayah cukup besar di Unurum Guay. Kampung Sawesuma dihuni oleh Orang Suku Sawe, dengan marga yang terdiri dari:
a. Marga Digan,
b. Marga Jasa,
c. Marga Bunggu dan
d. Marga Tekbo.
Marga paling tua adalah Marga Digan, dan kemudian ketiga marga yang lainnya adalah marga yang dibawa atau diberikan wilayah marga oleh leluhur Marga Digan.
Di kampung ini terdapat terdapat salah satu marga yaitu Marga Tekbo yang kini dipimpin oleh seorang perempuan, yang disebut dengan Kamabina. Selain itu juga terdapat kelompok perempuan Ingerwewal yang ketuanya juga seorang Ketua Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM) atau BPD di Sawesuma.
Ruang hidup dan wilayah kelola utama yang dimanfaatkan oleh Perempuan Adat di Kampung Sawesuma terdiri dari pekarangan, kebun, dusun sagu, sungai dan hutan. Wilayah kelola tersebutlah yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang dikelola oleh Perempuan Adat. Masyarkat Kampung Sawesuma sebagan besar memiliki pekerjaan utama seperti bertani, berkebun, memungut bahan pangan dari hutan, mencari ikan dan berburu di hutan.
Namun, sayangnya beberapa perubahan dan krisis mulai terjadi di wilayah adatnya, perubahan dan krisis lebih banyak terjadi di hutan dan sungai. Perubahan ini terjadi akibat dari pembukaan kebun kelapa sawit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bahri, et al (2022), masuknya perusahaan atau investasi ke perkampungan di Jayapura, Papua, khususnya di Kampung Sawesuma menyebabkan derita menyakitkan bagi Masyarakat Kampung Sawesuma. Kapital besar masuk pada decade awal 1990, melalui perusahaan kayu (HPH). Hutan alam primer, surganya burung cenderawasih, kayu besi dan kayu matoa, hanya menyisakan cerita bagi anak-anak kecil Kampung. Hutan tersebut ditebang, kayunya diambil dan dibawa dari Kampung ke Kota.
Sayangnya, pemerintah mengizinkan program-program tersebut. Perusahaan mengganti hutan serta kayu dengan beras dan janji-janji kemajuan untuk Kampung Sawesuma. Janji-janji itu hingga saat ini tidak pernah terwujud. Yang terwujud adalah hutan yang kian menghilang, kayu hitam sudah sangat susah didapatkan, buah matoa dan kenari sudah mulai sedikit ditemukan disaat musimnya.
Setelah itu, dua dekade kemudian perusahaan besar hadir kembali, yang tidak hanya mengambil hutan, dusun sagu, dan kali/sungai Orang Kampung Sawesuma, tetapi justru mengambil seluruh tanah kampung. Kapital baru ini menebang semua yang hidup dan akan menggantikan dengan tanaman monokultur, sawit. Perusahan tersebut bernama PT Rimba Matoa Lestari, anak perusahaan dari Agrindo Group yang merupakan bagian dari Raja Garuda Mas Group yang mulai beroperasi pada tahun 2013.
Sebagian tanah Kampung Sawesuma sudah berganti menjadi sawit, sedangkan Kampung tetangga sudah hilang dan menjadi kebun sawit. Sama seperti yang dulu, perusahaan sawit juga menjanjikan kemajuan bagi Orang Kampung. Perusahaan sawit menjanjikan Pendidikan bagi anak-anak Kampung. Dia memberikan janji membangun sekolah dari tingkat SD, SMP, hingga SMA beserta fasilitas pengajarnya.
Selain itu, perusahaan sawit memberikan janji untuk pembangunan pusat-pusat ekonomi bagi Masyarakat Kampung. Perusahaan berupaya keras agar Masyarakat Kampung bersedia menyerahkan tanahnya. Dia mengajak seluruh kepala marga dan kepala kampung untuk melakukan studi banding di Kawasan perkebunan di Provinsi Riau. Perusahaan memperkenalkan modernisitas dan kemajuan kepada kepala marga dan kampung melalui contoh perkebunan di Riau. Cara-cara ini sepertinya tidak hanya dilakukan kepada Orang Kampung di Papua saja.
Kampung Tablanusu
Kampung Tablanusu dan Tablasupa terletak di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura dengan luas Kampung Tablanusu: 135,79 km2 Jumlah penduduk yang 498 terdiri dari 281 laki-laki dan 217 perempuan. Kampung Tablanusu berada di teluk yang dikenal dengan Teluk Tanah Merah yang berhadapan dengan Lautan Pasifik dengan dua musim yaitu musim Angin Barat (Yaru ya) dan musim Angin Timur (Yamka ya).
Kampung Tablanusu berjarak sekitar 60 km dari Kota Jayapura dengan jarak tempuh sekitar 2 jam melalui jalur darat. Dengan rute dari kota Jayapura ke Dermaga Depapre memakan waktu 1,5 jam menggunakan bus atau kendaraan lainnya. Kemudian dari Pelabuhan Depapre bisa melanjutkan perjalanan melalui jalur laut maupun jalur darat selama 20 menit).
Kampung ini berada di pinggir pantai, pantai Tablanusu adalah pantai yang berhamparkan batu koral berwarna hitam menghias sepanjang pantai, yang menjadi khas dari pantai ini kemana kita melangkah batu koral hitam yang terinjak akan berbunyi seperti terdengar suara isak tangis, oleh sebab itu Kampung Tablanusu dijuluki “Kampung Batu Menangis”. Hanya masyarakat asli Kampung Tablanusu yang menginjak batu koral tersebut tanpa terdengar suara. Masyarakat Adat asli Kampung Tablanusu akan bisa membedakan pengunjung asli orang lokal dan pengunjung bukan asli daerah tersebut dikarenakan Masyarakat Adat Kampung Tablanusu memiliki pengetahuan lokal teknik menginjak batu koral tanpa ada suara. Konon batu koral hitam sepanjang pantai tersebut sudah ada sejak nenek moyang Masyarakat Adat Tablanusu bermukim pertama kali di kampung ini.
Masyarakat di Kampung Tablanusu terbagi kedalam sembilan marga, yang terdiri dari Soumilena, Danya, Yakarimilena, Seli, Wambena, Apaseray, Somisu, Yufuway, dan Suwae. Hingga saat ini sistem Kelembagaan Adat yang berlaku di kampung ini adalah sistem kekuasaan Kepala Suku yang disebut Ondoafi merupakan Kepala Adat/Suku. Dalam fungsi menjalankan kekuasaanya Ketua Adat (Ondoafi) dibantu oleh dua orang pesuruh (Yarona) atau tangan kanan Ondoafi yang juga berdasarkan garis keturunan dan Kepala Perang (Yarise).
Di kampung ini terdapat dua orang kader Perempuan Adat yang sedang memperjuangkan posisi strategis di Majelis Rakyat Papua (MRP) dan satu orang kader Perempuan Adat mencalonkan diri sebagai anggota Calon Legislatif DPRD Kabupaten Jayapura. Melalui proses yang dilaksanakan dalam program ini harapannya dapat membantu untuk membangun program kerja dan visi sebagai kandidat dalam posisi tersebut.
Masyarakat Adat dan Perempuan Adat Tablanusu memiliki nilai-nilai tradisi adat istiadat dan menjaga keseimbangan alam sehingga beberapa ritual-ritual rutin dilakukan setiap tahunnya untuk menjaga keseimbangan alam dan terhadap kerusakan lingkungan yang lebih parah. Sasi dan Tiyatiki merupakan ritual yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Ritual Adat untuk perairan yaitu: ritual Sasi yang dilakukan untuk kelestarian ekosistem laut atau ritual untuk perlindugan laut. Ritual Sasi dilakukan dengan cara menancapkan dahan kayu besi Masyarakat Adat Tablanusu menyebutnya Suang Teko di laut, tepatnya di terumbu karang. selain Suang Teko, terdapat musik tradisional, nyanyian dan tarian yang merupakan bagian dari Prosesi Ritual Sasi.
Penulis:
Andi Tenrinia dan Novilla Aru (Kampung Sawesuma)
Ririn Mesi dan Tabitha Mansawan (Kampung Tablanusu)
Tinggalkan Balasan