Jakarta, alinea.id — Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai membuat perempuan adat dipaksa menjadi budak di tanah kelahirannya sendiri. Demikian pandangan yang dikemukakan oleh Afina, perwakilan dari Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Afina menuturkan, pada dasarnya RKUHP tujuannya baik untuk melakukan dekolonisasi terkait hukum yang diwariskan penjajah. Akan tetapi, substansi dari isi undang-undangnya malah mengancam perempuan adat.
“Pasal 417 (RKUHP) mengkriminalisasi pernikahan adat, korban kekerasan perempuan adat dan pemaksaan pernikahan. Perempuan adat dipaksa menjadi budak di tanah adat kami sendiri,” kata Afina saat aksi unjuk rasa di depan gedung parlemen di Jakarta, Senin (16/9).
Selain dapat mengkriminalisasi, lanjut Afina, saat ini perempuan adat yang tinggal dekat dengan lahan konsesi yang diberikan kepada perusahaan, juga banyak mengalami prilaku kekerasan seksual dan pemerkosaan.
Sementara itu, kata dia, negara cenderung mengabaikan persoalan tersebut. Menurutnya, negara tak melihat sumbangsih yang selama ini diberikan masyarakat adat seperti menjaga kelestarian alam dan lingkungan di wilayah adat.
Lebih lanjut, Afina menambahkan, proses pembahasan yang dilakukan oleh DPR RI terkait RKUHP juga tidak melibatkan banyak pihak, terutama masyarakat adat. “Perempuan adat tidak akan pernah punya ruang dalam pengambilan keputusan. Di mana perempuan adat dalam pembuatan RKUHP? Tidak ada. Perempuan adat tak punya ruang untuk merebut hak-haknya,” ujarnya.
Padahal, kata dia, pelibatan masyarakat menjadi penting karena mereka yang berada di lapangan akan terancam. Terlebih dalam menjalani kehidupan yang berkebudayaan, masyarakat adat telah melaksanakan warisan-warisan dari leluhurnya sejak lama.
“Wilayah adat adalah sumber kehidupan dan tempat untuk melaksanakan ritual adat yang telah ribuan tahun kami jalankan atas nama leluhur kami. Kami menolak pengesahan RKUHP karena pasal-pasal tidak berpihak pada kami,” ucapnya.
Tinggalkan Balasan