RUU Masyarakat Adat Dinilai Bisa Lindungi Hak Perempuan Adat

PEREMPUAN AMAN dan Narasumber setelah acara Talkshow Hak-Hak Perempuan Adat Di Dalam Agenda Politik 2019, Anomali Coffee, Menteng Jakarta Pusat. (20/12/2018)

Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN) menilai pemerintah tidak serius menjamin hak masyarakat adat sebagai warga negara. Hal itu terlihat dengan tidak kunjung disahkannya RUU Masyarakat Adat yang mandek di DPR.

Diskriminasi terhadap perempuan terjadi dalam semua lapisan masyarakat, termasuk terhadap kaum perempuan adat. Padahal perempuan adat memegang peranan penting dalam keberlangsungan wilayah adat misalnya, karena mereka yang terjun langsung di lapangan untuk memeliharanya.Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan AMAN) Devi Anggraini mengatakan, sebenarnya hak perempuan adat bisa lebih terjamin kalau RUU Masyarakat Adat bisa segera disahkan oleh pemerintah. Dengan adanya RUU itu, selain hak masyarakat adat bisa dijamin oleh UU, otomatis ruang perempuan adat untuk menuntut haknya bisa lebih besar.

Dalam diskusi “Hak-hak Perempuan Adat di dalam Agenda Politik 2019”, di Jakarta, Kamis (20/12), pihaknya mengatakan, pemerintah tidak serius dalam mengesahkan RUU masyarakat adat ini, padahal ini merupakan poin penting yang masuk dalam nawa cita Presiden Joko Widodo.

Meskipun telah mengeluarkan Surat Perintah Presiden yang memerintahkan kepada lima Kementerian/Lembaga untuk membahas RUU masyarakat adat ini, namun tidak ada kemajuan yang berarti. Prosesnya kata Devi, baru masuk dalam prolegnas di DPR RI tahun kemarin, yang dimana advokasinya sudah dilakukan sejak 2011.

Ia menjelaskan dalam konteks perempuan adat, dengan adanya RUU Masyarakat Adat ini akan bisa lebih melindungi perempuan adat dimana hak atas pengetahuan, karya dan hasil kerja kaum hawa tersebut bisa diakui dan terlindungi oleh payung hukum. Selain itu, menurutnya RUU masyarakat ini juga berfungsi menurunkan biaya konflik sosial yang cukup tinggi, seperti konflik sengketa tanah adat , konflik SDA dan lain-lain.

“Dalam konteks RUU masyarakat adat di perempuan, kami ingin mendorong. Banyak di UU lain sebenarnya sudah ada hak individu perempuan, tapi sebenarnya hak kolektif perempuan terkait dengan tenun, pengetahuan mereka untuk obat-obatan dan benih itu tidak pernah ada pengakuan dan perlindungannya,” kat Devi.

“Ketika diambil sekarang oleh yang dipatenkan, pengetahuan itu kan kita gak bisa menuntut, padahal itu pengetahuan perempuan adat, kita mau ini memberikan perlindungan itu kepada perempuan adat, dan masyarakat adat pastinya,” tambah Devi.

Perempuan AMAN, juga mendorong perempuan adat agar lebih aktif berpartisipasi dalam pembangunan. Hasilnya, banyak perempuan adat sekarang, yang menjadi fasilitator desa. Tidak hanya itu, perempuan adat yang merupakan anggota Perempuan AMAN juga berpartisipasi dalam tim pemantau pemilu 2019 mendatang, agar mereka bisa dengan cerdas memilih wakil rakyat yang bisa mewujudkan disahkannya RUU masyarakat adat ini atau bahkan bisa maju sebagai caleg di masa depan.

Dalam kesempatan yang sama, caleg DPR RI 2019-2024 dari Partai Demokrat, Firliana Purwanti, mengatakan strategi yang harus dilakukan agar RUU masyarakat adat ini bisa menjadi UU, diperlukan kerja sama dengan membangun jaringan yang kuat antar parlemen dan masyarakat sipil. Dirinya sendiri maju sebagai caleg, agar hal-hal yang menghambat kepentingan rakyat terutama perempuan bisa disuarakan dan diwujudkan.

Firli menilai RUU ini sulit diwujudkan terutama untuk memperjuangkan hak perempuan adat karena yang dihadapi adalah kelompok kapitalis, meski tidak merinci siapa yang dimaksudnya. Maka dari itu, dibutuhkan sudut pandang yang lebih luas, sehingga bisa tercipta pemikiran bahwa RUU ini akan membawa masa depan lingkungan yang lebih baik contohnya.

“Maka, argumen yang harus dibangun adalah kalau tidak mau lingkungan rusak, UU Masyarakat adat, terutama orang yang merawat hutan ini seperti perempuan harus diproteksi oleh UU, jadi mungkin harus memperluas argumennya supaya konstituen dari isu-isu lingkungan, juga tergabung dalam perempuan adat. Karena kalau misalnya, strateginya cuma pokoknya hanya perempuan adat saja tidak menarik konstituen yang isunya berbeda,” ujar Firli.

Ditambahkan Firli, tekanan ekonomi yang kuat menjadikan masalah di lingkungan adat juga cukup banyak. Pemerintah yang mengejar pembangunan infrastruktur di wilayah adat seringkali tidak melibatkan masyarakat adat itu sendiri, apalagi perempuan adat.

Pada dasarnya, masyarakat adat bukan anti terhadap pembangunan. Namun mereka ingin dilibatkan dalam pembangunan itu, dengan berdialog dan bermusyawarah karena kaum masyarakat adat terutama perempuan adat ini memiliki hak konstitusi sebagai warga negara. [gi/em]

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/ruu-masyarakat-adat-dinilai-bisa-lindungi-hak-perempuan-adat/4710359.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *