Dilansir dari Matra Bisnis 6 Juli 2020
RUU Masyarakat Adat dipastikan harus memenuhi perlindungan dan pemenuhan hak-hak kolektif Perempuan Adat. Karena Perempuan Adat memiliki peran dan fungsi sebagai penjaga ketahanan hidup komunitasnya, dengan mengelola sumber-sumber hidup di dalam wilayah adatnya. Namun, pandangan dan kepentingan Perempuan Adat dalam pengelolaan sumberdaya alam belum hadir, bahkan cenderung diabaikan dalam beragam proses pembangunan baik di komunitas adatnya maupun dalam kehidupan publik yang lebih luas.
Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN dalam diskusi Webinar dengan tajuk Perempuan Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam yang digelar 2 Juli lalu menilai, bahwa seringkali suara Perempuan Adat yang mengemukakan kepentingan atas pengelolaan sumberdaya alam, dianggap sebagai pembicaraan harian yang tidak penting dalam proses pengambilan keputusan.
Perempuan Aman mencatat, bahwa konflik sumber daya alam yang sedang berlangsung di berbagai wilayah masyarakat adat, tidak hanya menurunkan kualitas lingkungan, tetapi berdampak nyata pada penyingkiran identitas diri sebagai perempuan adat. Tidak diakuinya pengetahuan dan keterampilan perempuan adat berbasis sumber daya alam, tingginya tingkat diskriminasi sampai menjadi korban kekerasan ekonomi. Wilayah adat dirampas, tanah pertanian hilang, hingga hilangnya mata pencaharian perempuan adat. Pengangguran dan kekerasan domestik menjadi hal yang kerap ditemui.
“Seperti yang terjadi pada Perempuan Adat Negeri Tananahu di Pulau Seram, Maluku Tengah yang terpaksa harus masuk ke dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Bahkan terkadang mereka terpaksa harus mengambil kelapa dan kakao milik PTPN, karena tanah mereka menjadi konsesi PT Perkebunan Nasional (PTPN) untuk kakao dan kelapa. Aparat keamanan perusahaan kerap mengejar dan menjebloskan mereka ke penjara dan perempuan adat yang tertangkap menjadi korban pelecehan seksual bahkan perkosaan,” tutur Devi.
Kisah kelam Perempuan Adat Negeri Tananahu, merupakan salah satu potret penyingkiran perempuan adat dan hilangnya wilayah kelola perempuan adat untuk mempraktikkan dan mengembangkan pengetahuannya berbasis Sumber Daya Alam di Indonesia.
Walaupun konsesi PTPN telah berakhir di Negeri Tananahu, namun perempuan adat masih harus berjuang untuk mendapatkan kembali tanahnya. Hak Masyarakat Adat atas wilayahnya masih mendapat rintangan dengan rumitnya persyaratan, salah satunya pengakuan keberadaan Masyarakat Adat harus tertuang dalam produk hukum daerah. Artinya, secara hukum, masyarakat adat dianggap illegal di dalam wilayahnya sendiri, sementara peluang pihak luar untuk menguasai wilayah adat menjadi semakin terbuka. Kriminalisasi dan stigma negatif pun kerap diterima oleh Perempuan Adat, ketika mereka mempraktikkan pengetahuannya membuka ladang dengan pembakaran lahan. Kearifan lokal ini, sering dianggap sebagai sumber dari kebakaran hutan.
“Data kajian Perempuan pada 2019 menyebutkan, bahwa lebih dari 64,5 persen responden menyatakan, praktik perladangan dengan membakar dilarang oleh pemerintah. Padahal, praktik peladang tradisional telah dilindungi oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, namun berbeda dalam kenyataannya. Sehingga, RUU Masyarakat Adat yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR, menjadi penting untuk memastikan hak perempuan adat dilindungi dan dipenuhi, terutama menghapuskan kekerasan struktural, kekerasan fisik dan non fisik,”beber Devi.
Niliani, perempuan adat Dayak Ma’anyan sekaligus Pengurus Harian Daerah Perempuan Barito Timur, menyayangkan pelarangan pembakaran lahan untuk membuka ladang. Pasalnya, tradisi tersebut telah ada secara turun-temurun dan dilakukan dengan perhitungan yang baik, sehingga rambatan api dapat dihindari.
Niliani beserta kawan-kawan PHD Barito Timur tetap berusaha mengabadikan pengetahuan-pengetahuan adat tentang ketahanan pangan melalui permainan tradisional dan dongeng, untuk kemudian diteruskan kepada generasi penerus. Pelestarian pengetahuan adat, merupakan salah satu upaya untuk menjaga sumber daya alam yang ada.
Sementara Mardha Tillah, Direktur Rimbawan Muda Indonesia (RMI) menyampaikan, bahwa pengakuan hak perempuan adat atas penghidupan yang layak, pengetahuan dan budaya berbasis sumber daya alam, merupakan langkah penting untuk memperkuat masyarakat adat.
Pengakuan terhadap masyarakat adat dan segala kearifan lokalnya tanpa memberi ruang partisipasi bagi perempuan adat untuk ikut menentukan kehidupan mereka dan komunitasnya, hanya akan menghasilkan kesetaraan yang semu dan tidak berkelanjutan.
“Merupakan praktik yang wajar, bahwa setiap pihak yang berkontribusi dalam perkembangan masyarakatnya mendapat ruang untuk ikut mengambil keputusan akan dirinya dan masyarakatnya,” cetus Mardha Tillah.
Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan, menjelaskan bahwa ketiadaan sumber daya menyebabkan penghancuran kebudayaan dan pemiskinan perempuan. Komodifikasi sumber daya alam yang lazim terjadi menyebabkan kematian sistem lokal dan keanekaan sistem kehidupan lokal. Hal ini berakibat masyarakat menjadi tergantung kepada perusahaan besar dan selanjutnya akan bergantung kepada bisnis global.
“Pencerabutan sumber-sumber kehidupan merupakan tindakan kejahatan, yang dampaknya paling terasa pada kelompok-kelompok yang dimarjinalkan, salah satunya adalah perempuan adat,” katanya.
Peran perempuan adat yang esensial membutuhkan sokongan kuat, agar tetap mampu merebut kembali ruang-ruang penghidupan mereka. Mia Siscawati, Dewan Pakar Perempuan Aman, menegaskan pentingnya membangun kesadaran kritis perempuan atas hak-hak mereka sebagai manusia, sebagai perempuan, perempuan desa, perempuan adat, dan sebagai warga negara.
Pun tak kalah pentingnya, adalah selalu memastikan keterlibatan perempuan adat, sebagai subyek dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan secara sungguh-sungguh.
Perempuan Aman (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aman) adalah organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), yang dideklarasikan 16 April 2012 di Tobelo, Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara. **
Tinggalkan Balasan