“Kita punya hak yang sama dan dilindungi dalam UU, tapi ada hal-hal yang luput dan belum dilihat pemerintah dan organisasi untuk diperjuangkan”
Jakarta, 6 Agustus 2016 – PEREMPUAN AMAN menggelar Seminar Nasional dengan tema “Menghadirkan Hak-Hak Perempuan Adat dalam Naskah Akademik dan RUU Masyarakat Adat” di Hotel Sahid Jaya, Sudirman- Jakarta kemarin. Dalam kegiatan yang melibatkan sekitar 25 orang perempuan adat tersebut, juga dihadiri oleh perwakilan dari beberapa lembaga seperti beberapa utusan dari pemerintah, UNDP, Kedubes Norwegia, OMS dan pelapor khusus Komnas HAM untuk urusan masyarakat adat.
Sekjen AMAN, Abdon Nababan dalam sambutannya mengatakan bahwa “saat ini, perempuan adat melakukan suatu upaya. Perempuan adat ingin didengar, terlibat, menjadi bagian dari suatu proses yang besar yang akan mempengaruhi hidup mereka di kampung. Di dalam masyarakat adat sendiri, ada kelompok yang rentan terhadap keputusan-keputusan. Jadi, kalau masyarakat adat itu sering didiskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di masyarakat adat juga melakukan itu, bisa perempuan, anak-anak , disabilitas. Dan inilah tantangan kita ketika bicara RUU PPHMA/ RUU Masyarakat Adat”.
Dari konsultasi Nasional yang digelar oleh PEREMPUAN AMAN pada 19-22 April 206, disadari bahwa Naskah Akademik di tahun 2011 masih belum menggambarkan pengalaman dan realitas sosial dari perempuan adat. Di dalam Naskah Akademik tersebut, cenderung mengasumsikan masyarakat adat sebagai entitas yang homogen, padahal didalam komunitas adat terdapat lapisan sosial berdimensi ras, usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan, status keluara, kelas dan sebagainya.
“Kita punya hak yang sama dan dilindungi dalam UU, tapi ada hal-hal yang luput dan belum dilihat pemerintah dan organisasi untuk diperjuangkan. Dibutuhkan komitmen perubahan bahwa diperlukan affirmative action untuk perempuan adat, terutama dalam pengawalan subtansi naskah akademik RUU Masyarakat adat ini”, ujar Devi Anggraini, Ketua Umum PEREMPUAN AMAN.
Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUU PPHMA) atau yang lebih dikenal dengan RUU Masyarakat adat ini akan masuk dalam pembicaraan program legislasi nasional (Prolegnas) pada bulan Oktober 2016 ini. Mendorong pengalaman perempuan adat terdiskripsi didalam Naskah Akademik RUU Masyarakat adat bagi PEREMPUAN AMAN merupakan jaring rerantai kerja yang memerlukan pengawalan ketat, lobby dan kerjasama jaringan di semua level demi mendorong hak-hak perempuan adat diatur juga dalam kebijakan masyarakat adat tersebut.
Devi mengatakan “yang menjadi tantangan berat adalah soal obligasi. Siapa yang memiliki kewajiban itu. Kita melihat bahwa kelembagaan Negara saat ini ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), tapi lebih banyak pada hak individu, dan tidak masuk dalam hak perempuan adat ketika berhadapan dengan konflik SDA. Bagaimana pengetahuan perempuan adat bisa terlindungi dengan masuknya pembangunan. Inilah pergulatan yang terjadi dalam tim penulis”.
Negara Indonesia wajib memberikan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan. Bagaimana kondisi perempuan adat? apa masalah yang dihadapi? Karena ini terkait penyusunan RUU, yang utama masalah hukum. Lainnya, adalah catatan penting terkait upaya terjadap kelompok marginal lain dalam masyarakat adat, misalnya anak-anak. Perkawinan anak itu banyak di masyarakat adat. Perempuan tidak boleh menutup diri, mungkin ada diantara kita yang menjadi korban, tegas Sandra Moniaga, pelapor khusus Komnas HAM untuk urusan masyarakat adat.
Hak perempuan adat mempunyai sifat yang sama dengan hak masyarakat adat, yakni sifat haknya melekat dengan sejarah asal-usul dan wilayah adat. Hak perempuan adat sebagai bagian dari komunitas adatnya belum mendapatkan pengakuan didalam ragam produk hukum nasional. Bahkan UU No.7 Tahun 1984 yang menjadi rujukan legal untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia pun masih absen dalam mengakomodir hak-hak dan kebutuhan khusus perempuan adat.
Atas dasar itulah, RUU Masyarakat adat menjadi produk hukum yang paling memungkinkan untuk mengakui, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan adat. karena itu, perempuan adat mendorong Negara baik pemerintah legislative dan eksekutif mengesahkan RUU Masyarakat adat. *Titi Pangestu*
Tinggalkan Balasan