Siaran Pers Seminar Daring: “Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat”

Untuk pertama kalinya, PEREMPUAN AMAN menyelenggarakan webinar dengan judul “Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat”. Webinar ini dimoderatori oleh Nur Amalia, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan menghadirkan Rukka Sombolinggi (Sekretaris Jenderal AMAN), Sandra Moniaga (Komnas HAM), Yando Zakaria (Peneliti Pusat Kajian Etnografi Masyarakat Adat), dan Prof. Rato Dominicus (Asosiasi Pengajar Hukum Adat) sebagai narasumber acara daring ini.

Mengapa Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Penting?

Pengakuan eksistensi Masyarakat Adat secara eksplisit telah tercantum dalam konstitusi kita (Pasal 18 b ayat 2 jo 28 ayat 3). Kemudian, berbagai peraturan perundang-undangan juga menyebutkan tentang keberadaan Masyarakat Adat dengan berbagai penyebutan yang berbeda, seperti masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. Setidaknya, ada 30 UU yang secara eksplisit mengatur tentang Masyarakat Adat di Indonesia.

Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat juga menegaskan bahwa ada dua masalah utama yang melatarinya pentingnya RUU Masyarakat Adat (RUU MA), yakni Pertama, tidak adanya pengakuan secara utuh atas keunikan dan kekhasan Masyarakat Adat sebagai masyarakat. Semisal, tari-tariannya diakui, tapi kepercayaannya tidak. Kedua, pengaturan dan pemberdayaan Masyarakat Adat di tingkat pemerintah pusat tidak terintegrasi, masih terserak setidaknya di 13 Kementerian/Lembaga (K/L) di mana nomenklaturnya ada pada level direktur/eselon tiga ke bawah. Akibatnya, tidak ada strategi kebijakan yang komprehensif, melainkan lebih bernuansa proyek, yang sering kali saling bertolak belakang. Belum lagi, dalam tingkat pemerintah daerah, masing-masing dari mereka memiliki penafsiran yang beragam tentang Masyarakat Adat.

Dalam Prolegnas 2020, RUU MA masuk untuk ketiga kalinya dengan inisiatif DPR dari Nasdem, PDIP, dan PKB. Setelah dalam dua prolegnas terdahulu, rancangan ini tidak pernah kunjung selesai dibahas. Nasib Rancangan Undang-Undang tentang Masyarakat (Hukum) Adat terkatung-katung hingga kini. Sekjen Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), Rukka Sombolinggi mengungkapkan bahwa konstitusi dan perundangan kita telah mengatur soal Masyarakat Adat, “tapi ‘mengatur secara sepotong-sepotong’, sehingga jika diibaratkan sebagai manusia, maka tidak ada aturan yang utuh mengatur Masyarakat Adat sebagai manusia”.

WEBINAR Menyoal Urgensi RUU MA (25 Juni 2020 via Zoom)

WEBINAR Menyoal Urgensi RUU MA

Dikirim oleh PEREMPUAN AMAN pada Rabu, 24 Juni 2020
Arsip seminar daring Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat di Facebook Fanspage

Kaya dengan Kebijakan, Miskin Perubahan

Sementara itu, Yando Zakaria, peneliti pada KARSA, menggenapi pernyataan Rukka, “belum lagi ratusan perda yang mengatur Masyarakat Adat”, “kita kaya kebijakan, tapi miskin perubahan”. Terlebih lagi, fakta bahwa Masyarakat Adat di Indonesia memiliki kemajemukan vertikal di mana spektrum Masyarakat Adat amat beragam, mulai dari masyarakat berburu dan meramu sampai masyarakat metropolis. Sehingga, kita tidak bisa memperlakukannya secara tunggal. Demikian pula soal penyebutan. Jika dilihat dari fungsi dan nomenklatur, sebaiknya digunakan istilah “Masyarakat Adat” untuk menengahi istilah yang muncul dari konstitusi “Masyarakat Hukum Adat” dan “Masyarakat Tradisional”.

Profesor Rato Dominicus, dari Asosiasi Pengajar Hukum Adat, menekankan peran Perempuan Adat dalam pelestarian budaya. Hukum adat bersumber pada budaya lokal, budaya tutur (folklore) dan seringnya tidak tertulis. Maka, instrumen untuk mensosialiasikan nilai, asas, dan norma hukum itu dilakukan melalui dongeng, tari, folklore, dan simbol-simbol di mana Perempuan Adat berperan penting di situ. Perempuan Adat adalah penjaga budaya dan sumber kehidupan. Bumi identik dengan perempuan, yang di dalamnya terkandung kekuatan fertilitas atau kesuburan, yang memberi untuk kehidupan.

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM, melihat kondisi Masyarakat Adat di Indonesia dalam kondisi baik/maju, mundur, dan stagnan. Kondisi maju adalah kondisi di mana Masyarakat Adat mampu memelihara komunitas dan wilayahnya serta diakui oleh negara, seperti komunitas adat Pandumaan Sipituhuta, Sumatera Utara, dan komunitas Dayak Iban, Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Kondisi mundur merupakan sebuah kondisi ketika Masyarakat Adat mengalami kriminalisasi saat mereka mengelola wilayahnya, seperti yang terjadi pada komunitas adat Batulasung, Dayak Meratus di Kalimantan Selatan atau Orang Rimba di Jambi. Kondisi stagnan, seperti yang dijabarkan olehnya, merupakan sebuah titik yang mana Masyarakat Adat masih bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan berekspresi, namun masih terkatung-katung karena dalam sengketa wilayah, seperti Masyarakat Adat di Talonang, Sumbawa Barat.

Dalam inkuiri nasional, Komnas HAM menemukan setidaknya ada 17 hak Masyarakat Adat yang dilanggar, diantaranya hak hidup, hak pendidikan, dan hak pengetahuan. Untuk itu, salah satu rekomendasi inkuiri nasional adalah untuk terus mendorong adanya UU Masyarakat Adat sebagai ketentuan payung hukum, untuk meminimalkan pelanggaran HAM Masyarakat Adat dan juga mendorong demokratisasi dalam Masyarakat Adat.

Yando Zakaria menawarkan tujuh objek yang perlu diatur dalam UU, yaitu: 1. hak identitas budaya; 2. Hak menyelenggarakan pemerintahan; 3. Hak untuk menyelesaikan sengketa; 4. Hak wilayah adat; 5. Hak agama leluhur; 6. Hak kekayaan intelektual; dan 7. Hak pendidikan adat. Di akhir diskusi, Prof. Rato memberikan sebuah simpulan yang tak boleh luput untuk dicermati, yakni untuk terus melihat di mana posisi Perempuan Adat di mata hukum, baik hukum adat maupun hukum negara. Pun tak kalah penting ialah meninjau pemenuhan hak Perempuan Adat akan berbagai sumber daya (pengetahuan, tanah, dsb.), dan apakah sejajar, setara dengan laki-laki dalam hal penyusunan aturan, pengambilan keputusan, dan sumber daya.

Webinar ini ditutup dengan sesi tanya jawab dengan diskusi yang menarik. Diskusi ini juga dihadiri oleh anggota-anggota AMAN dan PEREMPUAN AMAN di berbagai wilayah, akademisi, dan praktisi yang menggeluti isu-isu terkait Masyarakat Adat. Perjumpaan daring ini ditutup dengan sesi informal jumpa kangen Perempuan Adat dan Masyarakat Adat.

PEREMPUAN AMAN akan berkomitmen untuk membuka ruang-ruang diskusi dengan tema terkait melalui Zoom, yang juga akan disiarkan secara langsung melalui Facebook Fanpage PEREMPUAN AMAN. Nantikan terus diskusi-diskusi daring nan menarik dari kita, ya! Terlampir merupakan materi-materi yang disampaikan oleh berbagai narasumber saat webinar. Selamat menyimak, dan sampai jumpa di webinar selanjutnya!
Lampiran:

2 Responses to “Siaran Pers Seminar Daring: “Menyoal Urgensi Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat””

  1. Metodius Nyompe

    Ada perda tt MA tapi realitanya tetap saja MA disingkirkan dan dipinggirkan bahkan dikriminalkan jadi bgmn RUU tt MA itu segera untuk bisa disahkan apakah perlu ada gerakkan aksi di setiap provinsi yg pelaku aksinya berasal dari MA berasal dari kabupaten2 atau cukup dg surat terbuka mengingat pelaku2 perkwbunan dan tambang semakin menguasai tanah/lahan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *