Sikap PEREMPUAN AMAN atas Konflik di Wilayah Adat Rakyat Penunggu

Papan Kantor Sekretariat BPRPI Kampung Bangun Rejo Dirubuhkan PTPN II (2017)

PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) kembali merampas wilayah adat Masyarakat Adat Rakyat Penunggu. Hasil pemantauan di lapangan menunjukkan kemarin (14/12) PTPN II bersama TNI/Polri dan Satpol meratakan kebun, ladang dan rumah Rakyat Penunggu Kampong Bangun Rejo, Deli Serdang, Sumatra Utara.

Perusahaan perkebunan negara tersebut mengaku telah memiliki ijin perpanjangan HGU. Padahal Masyarakat Adat Rakyat Penunggu sudah menyerahkan data terkait wilayah adat langsung ke Presiden RI dan memasukkan data komunitas adat serta wilayah adatnya untuk menjadi lokasi prioritas Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) ke Kementerian ATR dan KSP.

Aksi penggusuran tersebut dihadang oleh Rakyat Penunggu baik laki-laki maupun perempuan yang saat itu sedang berkebun. Perempuan Adat Rakyat Penunggu meminta pengusuran ditunda hingga ada titik terang terkait surat ijin perpanjangan HGU. Namun pihak PTPN II bersikeras melakukan eksekusi wilayah adat Rakyat Penunggu. Sontak Wani, Perempuan Adat Rakyat Penunggu, naik ke atas buldoser ketika mendengar instruksi penggusuran. Wani bersama sedikitnya 5 perempuan adat yang salah satunya ibu hamil naik ke atas alat berat,.

Aksi Penggusuran oleh PTPN II Dihadang Perempuan Adat Rakyat Penunggu (unknown 2017)

Dari kesaksian Wani (15/12), pihak aparat menarik tangan, kaki dan badannya ketika ia dan perempuan adat lainnya di atas buldoser. “Saya dikeroyok (ditarik-red) oleh polisi, polwan dan satpol PP”, tuturnya sembari mensimulasikan aksi aparat terhadapnya. Bagi perempuan paruh baya ini, kekerasan yang dialaminya tak masuk akal. “Kami ini sikit, tapi diperlakukan kayak perampok”, protes Wani.

Kini, PTPN II berupaya melakukan perampasan wilayah adat Rakyat Penunggu di 22 titik berdasarkan 3 HGU yang dimilikinya. Aksi BUMN ini dikawal oleh 450 aparat kepolisian. Sementara itu perempuan adat Rakyat Penunggu Kampung Bangun Rejo telah membangun posko sederhana untuk melindungi kebun dan ladangnya dari penggusuran alat berat PTPN II.

Berdasarkan laporan Komnas HAM, konflik agraria dalam lima tahun terakhir menajam hingga 80 persen atau sekitar 1.653 kasus. Lembaga yang paling banyak diadukan adalah kepolisian yang disusul korporasi baik BUMN/D maupun swasta dan Pemerintah Daerah. Dalam Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan (2017) menunjukkan bahwa konflik sumberdaya alam mengancam hilangnya peranan perempuan adat atas pangan dan sumber-sumber kehidupan.

Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) menyatakan (15/12) konflik agraria di wilayah masyarakat adat memukul keras perempuan adat. “Ketika terjadi konflik atau bentrokan, perempuan adat selalu mengambil inisiatif tampil ke depan. Karena secara alamiah perempuan adat adalah pejuang wilayah adat.” ucap Devi.

Presiden Jokowi telah menaruh komitmen untuk melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat yang terangkum di dalam Nawacita. Namun menjelang tahun keempat masa pemerintahannya, realisasi janji ke masyarakat adat masih jauh dari pandangan mata. “Realisasi Nawacita untuk masyarakat adat menjadi penting, khususnya terkait konflik agraria. Jika Pemerintahan Jokowi mengambil sikap abai, akan lebih banyak perempuan adat dan masyarakat adat yang menjadi korban”, tegas Devi. [Mtz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *