Bagi Perempuan Adat perlindungan hak masyarakat adat atas wilayah adat tak tepisahkan (indivisibility) dari hak kolektif dan individu. Meliputi hak wilayah kelolanya, hak pengetahuan, hak pangan, hak obat-obatan tradisional, hak kesehatan dan hak ekonominya. Perlindungan ini harus terwujud pencapaiannya dalam RUU Masyarakat Adat yang masih dalam proses realisasi dan SDGs Agenda 2030.
New York. Pertama kalinya dalam sejarah Gerakan Masyarakat Adat Nusantara. Hak-hak individu dan kolektif Perempuan Adat Nusantara suaranya dapat bergaung lantang ke tingkat Internasional dalam perhelatan High Level Political Forum (HLPF) 2018 yang diselenggarakan oleh United Nations di New York, Amerika Serikat. Acara ini berlangsung pada tanggal 9 – 18 Juli 2018 dengan tema Transformation Towards Sustainable and Resilient Societies. HLPF adalah forum global untuk meninjau keberhasilan, tantangan, dan pembelajaran dalam mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Agenda 2030. Empat puluh tujuh negara menyajikan Voluntary National Reviews (VNR) dalam Forum ini. Selain VNR, satu set SDGs juga telah ditinjau.
Antara lain, Gol 6, pastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua. Gol 7, memastikan akses ke energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan dan modern untuk semua. Gol 11, membuat kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. Gol 12, pastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Gol 15, melindungi, memulihkan, dan mempromosikan pemanfaatan berkelanjutan dari ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, dan menghentikan serta membalikkan degradasi lahan dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati. Gol 17, perkuat sarana pelaksanaan dan revitalisasi Kemitraan Global untuk Pembangunan Berkelanjutan. Gol-gol ini akan dipertimbangkan setiap tahunnya (2015-2030). Forum ini mencakup banyak panel diskusi dan roundtable pada tema SDGs.
Devi Anggraini, Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ditunjuk langsung oleh Asia Indigenous People Pact (AIPP) yang berbasis di Thailand untuk mewakili perempuan adat Indonesia pada HLPF 2018. PEREMPUAN AMAN adalah organisasi sayap AMAN. Sebagai perwakilan perempuan adat dari Indonesia Ibu tiga anak ini sangat lantang dan tegas menyuarakan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat adat khususnya perempuan adat Indonesia saat ini. Dalam Diskusi Grup Masyarakat Adat Zona Media HLPF pada tanggal 12 Juli 2018 pagi waktu New York, perempuan adat Indonesia duduk setara dengan perwakilan perempuan adat dari Australia yang juga seorang peneliti bernama Suzanne Ingram, Edna Kaptoyo Indigenous Information Network, perwakilan dari Afrika, dan Gutt-Britt Retter Kepala Unit Artik dan Lingkungan Dewan Saami.
Diskusi ini dipimpin oleh moderator, Aminatu Samira dari Ministry of Environment, Protection of Nature and Sustainable Development. Masing-masing perwakilan berbagi soal aturan-aturan perempuan adat di wilayahnya masing-masing dan kontribusi serta tantangannya untuk Pembangunan Berkelanjutan. Devi memaparkan bahwa bekerja di dalam perempuan adat secara langsung seperti melihat situasi di dalam tanah. “Masih banyak tantangan yang kami temui. Perempuan Adat masih kesulitan untuk menjadi bagian proses pengambilan keputusan bersama pemerintah pusat,” ujarnya.
Devi menegaskan bahwa PEREMPUAN AMAN mempunyai inisiatif untuk menjadi bagian dari implementasi SDGs bersama pemerintah Indonesia. Untuk memastikan menjadi bagian dari implementasi SDGs, saat ini PEREMPUAN AMAN telah mencoba mengumpulkan data dan mengajukan kepada pemerintah agar perempuan adat dapat terlihat keberadaannya. “Menyediakan data yang akurat. Ini tidak hanya mengenai perempuan adat saja tapi masyarakat adat yang mendapatkan pengakuan lemah. Karena itu, perempuan adat masih tersembunyi dari diskusi atau debat lain di Indonesia. Saya pikir bagian dari pekerjaan kami SDGs untuk PEREMPUAN AMAN,” terangnya.
Bagi Ketua Umum PEREMPUAN AMAN yang terpilih pada periode 2015-2020 ini, bekerja dalam perempuan adat lebih mempersiapkan untuk generasi yang akan datang. “Kami tidak hanya berpikir tentang situasi saat ini. Kami memikirkan tentang masa depan. Maka dari itu, sangat penting SDGs untuk memastikan aturan perempuan adat dalam pencapaian SDGs,” tuturnya.
Pada tanggal 12 Juli 2018 sore hari waktu New York HLPF 2018, Devi Anggraini mewakili perempuan adat Indonesia mendapat kesempatan berbicara di dalam forum pertemuan Gol ke 12. Ia bersuara mewakili delapan juta perempuan adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia berjuang melawan ekspansi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman pertambangan untuk perusahaan.
“Praktik tradisional kami dilarang dan kami sedang dikriminalisasi. Secara global pada tahun 2017, 200 pembela aktivis HAM terbunuh dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Peningkatan konsumsi global juga mendorong deforestasi, penyalahgunaan lahan dan curahan air. Kami tahu industri sektor pertanian adalah penggerak penggundulan hutan terbesar. Produksi tanah, kelapa sawit dan kertas bertanggung jawab pada separuh deforestasi tropis dan permintaan global untuk komoditas ini meningkat,” paparnya.
Peternakan keluarga dan masyarakat dikuasai oleh perkebunan korporasi. Semuanya terutama untuk ekspor. Perkebunan menggunakan pestisida kimia berbahaya yang membunuh sekitar 900.000 orang setiap tahunnya. Ketidakadilan ini harus berhenti. “Oleh karena itu, kami menyerukan kepada pemerintah untuk bertindak segera, memastikan transisi yang adil. Mendesak merujuk kebijakan yang mensubsidi kelapa sawit dan bahan makanan lainnya. Negara-negara anggota harus menghapuskan monokultur, kelapa sawit, tanah, dan perkebunan kayu serta industri dari peternakan,” paparnya.
Ia menambahkan membuat larangan menggunakan plastik sekali pakai akan memastikan transisi perempuan yang bekerja di sektor informal. Perempuan adat Indonesia menyerukan kepada negara-negara anggota untuk mengakui dan mempromosikan pertumbuhan ekologi, pertanian dan praktik pastoral tradisional. Penghidupan berbasis masyarakat untuk penduduk asli, teritorial hak-hak pemerintah masyarakat adat dan penguatan hak serta jaringan kolektif perempuan adat.
Kaitan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan RUU Masyakarat Adat.
Disisi lain, Pembangunan Berkelanjutan sendiri memiliki visi untuk memastikan tidak ada seorangpun yang tertinggal didalam proses pencapaiannya. Visi ini telah menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat adat. Bagaimana memastikan mereka terlibat penuh didalam keseluruhan proses pencapaian Agenda 2030? Ironinya, masyarakat adat di Indonesia masih sedang memperjuangkan pemenuhan hak-haknya oleh negara dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Kebijakan yang diharapkan dapat menjadi payung hukum atas pengakuan masyarakat adat dan hak-haknya di Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
Pada tanggal 19 Juli 2018 lalu, melalui Badan Legislasi (BALEG) DPR RI. RUU Masyarakat Adat telah disepakati oleh Menteri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri KLHK diwakilkan. Hasil kesepakatan itu meliputi dua poin utama. Pertama, pemerintah bersedia untuk menyampaikan atau menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Masyarakat Adat kepada (BALEG) pada awal masa persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 yang akan dimulai tanggal 16 Agustus 2018. Kedua, pembahasan RUU tentang masyarakat adat akan diselesaikan dalam tiga kali masa persidangan DPR RI, dengan satu kali masa persidangan awal dikhususkan untuk melakukan kunjungan ke daerah dalam rangka mendapatkan masukan atau tanggapan dari Masyarakat Adat.
Rukka Sombolinggi Sekretaris Jendral, AMAN menyambut dengan gembira hasil kesepakatan RUU ini. Namun, masih banyak pasal-pasal dalam RUU ini yang tidak mencerminkan semangat UUD 1945. “Mari kita bekerja keras demi lahirnya sebuah Undang-undang yang mampu menjawab berbagai persoalan Masyarakat Adat. Undang-Undang yang akan mewujudkan Masyarakat Adat dan Bangsa Indonesia, Berdaulat secara Politik, Mandiri secara Ekonomi dan Bermartabat secara Budaya. Perjuangan berlanjut! Semoga Leluhur Masyarakat Adat, Alam Semesta dan Sang Pencipta Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati kita semua,” ujarnya.
Bagi perempuan adat, semoga kesepakatan ini semakin membuka mereka dalam beragam proses pengambilan keputusan diberbagai tingkatan. Semoga perempuan adat menjadi salah satu kelompok yang patut diperhitungkan keterlibatannya sebagai bagian dari masyarakat adat dan warga negara. Perempuan adat tidak ditinggalkan lagi terlalu lama. Kebijakan yang melindungi hak-hak kolektif perempuan adat bahkan wacana mengenai perempuan adat akan segera terwujud dan terdengar. Atas dasar situasi itulah PEREMPUAN AMAN melihat Agenda 2030 Pembangunan Berkelanjutan menjadi strategis. Keutamaannya bukan pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan itu sendiri.
Lebih jauh PEREMPUAN AMAN mempertimbangkan “ruang yang tersedia” untuk menghadirkan perempuan adat dan hak-hak kolektifnya didalam pembicaraan Agenda 2030. Keterlibatan berbagai pihak menyediakan kemungkinan “suara perempuan adat” akan lebih terdengar. Merebut tempat untuk bisa membicarakan siapa perempuan adat. Bagaimana mereka dan situasi yang mereka alami saat ini. Berkontribusi dengan menyediakan data-data mengenai perempuan adat dan melibatkan perempuan adat secara langsung dalam beragam mekanismenya. (Ageng Wuri)
Tinggalkan Balasan