KBRN Ende: Pemerintah Daerah (Pemda) Nagekeo dibawah kepemimpinan Bupati Johanes Don Bosco Do diharapkan tidak terburu – buru merespon usulan Lembaga Pemangku Adat (LPA) Labo – Kawa yang hari Kamis (04/04) lalu mendatangi ruangan bupati untuk meminta Bupati Nagekeo segera mempercepat proses pembangunan Waduk Lambo karena LPA tersebut tidak memiliki tanah ulayat sejengkal pun untuk pembangunan Waduk Lambo.
Hal ini dikatakan Willibrodus Ou, Sekretaris Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL) di Rendu Butowe hari ini, Minggu (07/04) dalam menyikapi usulan LPA Labo – Kawa yang mendukung percepatan pembangunan Waduk Lambo.
“Mereka tidak punya hak atas tanah Rendu dan sekitarnya yang terkena dampak pembangunan Waduk Lambo tapi koq mereka yang pergi desak pemerintah untuk mempercepat pembangunan waduk. Maksudnya apa?,” kata Willy.
Willy melanjutkan ke – 23 anggota LPA Labo – Kawa yang mendatangi kantor Bupati Nagekeo hanya mencari sensasi untuk dipuji bupati karena mereka bukan termasuk warga yang terkena dampak pembangunan waduk Lambo.
“Sangat tidak terpuji sikap LPA Labo – Kawa yang secara sepihak mendukung pembangunan waduk Lambo padahal saudara – saudaranya yang terkena dampak sedang berjuang untuk menolak lokasi pembangunan waduk karena mempertahankan tanah ulayatnya. Memang sudah tidak punya nurani lagi. Memalukan sekali karena mengaku – ngaku ulayat oranglain sebagai ulayatnya,” tutur Willy dengan nada kesal.
Willy menegaskan jika Pemerintah Nagekeo lurus – lurus menuruti permintaan LPA Labo – Kawa dan menerjunkan BPN untuk mengukur tanah masyarakat adat maka secara tidak langsung Pemda Nagekeo telah menciptakan konflik baru di tengah masyarakat.
“Tanah ulayat Lowose bukan milik masyarakat adat Labo – Kawa sehingga tidak benar jika LPA Labo – Kawa mendorong pemerintah untuk segera membangun waduk tersebut. Kita akan tunggu siapa – siapa yang akan turun bersama BPN untuk mengukur tanah ulayat kami,” tegas Willy Ou.
Sementara itu Ketua Aliansi Masyarakat Adat Lambo (AMAL), Hendrikus Kota kepada KBRN mengatakan kekecewaan terhadap LPA Labo – Kawa yang secara sepihak menyatakan sikap untuk mendukung pembangunan waduk Lambo padahal selama ini AMAL selalu bersama dengan masyarakat adat di Rendu dan Ndora secara bersama – sama berjuang untuk menolak pembangunan waduk di lokus Lowose.
“Kalau mereka adalah orang – orang adat yang mengerti dengan adat maka mereka pasti bersama – sama masyarakat adat lain untuk berjuang bersama mempertahankan wilayah adatnya tetapi kalau mereka hanya mementingkan diri sendiri maka apa yang mereka nyatakan dalam surat penyataan itu tidak akan pernah terealisasi,” tutur Hendrikus.
Hendrikus menyayangkan sikap Bupati Nagekeo yang menerima ke – 23 anggota LPA Labo – Kawa dengan berjanji akan menindaklanjuti tuntutan tersebut dengan menurunkan BPN melakukan pengukuran terhadap tanah milik warga.
“Seharusnya seorang bupati harus bijak dalam menanggapi usulan masyarakat karena dari 23 anggota LPA Labo – Kawa itu, masih terlalu banyak warga Labo yang menolak pembangunan waduk Lambo karena dampak kerugian yang mengancam kehidupan hayat hidup orang banyak,” jelasnya.
Dia menambahkan jika Pemda Nagekeo berkeinginan melanjutkan pembangunan Waduk Lambo, seharusnya Pemda juga mendengar tuntutan ratusan warga yang terkena dampak pembangunan waduk itu bukan hanya mendengar satu pihak saja.
“Seharusnya bupati mendengar tuntutan masyarakat adat tiga komunitas yang melakukan aksi pada 18 Maret lalu sehingga tidak membuat penyataan yang bertentangan dengan tuntutan masyarakat itu. Ratusan warga masyarakat yang datang saat itu jauh lebih banyak daripada yang datang pada hari Kamis kemarin. Disini dapat terlihat jelas bahwa warga yang menolak pembangunan jumlahnya jauh lebih banyak daripada segelitir orang yang menerima pembangunan waduk,”tambahnya.
Hal senada diungkapkan Siti Aisyah, tokoh perempuan adat Ndora dalam kesempatan itu menuturkan, meskipun LPA Labo – Kawa mendatangi Pemda Nagekeo untuk mengusulkan percepatan pembangunan Waduk Lambo namun hingga saat ini belum ada persetujuan dari masyarakat adat Lambo, Rendu dan Ndora sehingga tidak semudah yang diusulkan. Masyarakat adat Lambo, Rendu dan Ndora tetap komitmen menolak pembangunan waduk dengan lokus di Lowose sehingga pemerintah silahkan memilih 2 lokasi (Lowopebhu dan Malawaka) yang telah disiapkan warga.
“Kami tidak menolak pembangunan tetapi kami tolak lokasi pembangunan di Lowose.Kami juga telah siapkan 2 lokasi alternatif, silahkan bangun di lokasi yang telah kami siapkan. Bagi kami, sekali kami tolak tetap kami tolak sampai kapan pun,”tegas Siti Aisyah.
Aktivis Perempuan ini berharap Pemda Nagekeo tidak lagi memaksakan kehendak kepada masyarakat adat agar tidak terjadi konflik seperti yang pernah terjadi di waktu lalu.
“Masyarakat adat sesungguhnya cinta damai tetapi kalau diusik hak – haknya maka masyarakat adat akan bangkit melawan untuk mempertahankan hak – haknya,”ungkap Siti.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh tokoh muda Lambo, Selis Lado Lara yang dengan tegas mengatakan, Bupati Nagekeo tidak serta merta menerima usulan 23 anggota LPA Labo – Kawa karena pernyataan para anggota LPA Labo – Kawa sangat berpotensi menimbulkan konflik antar sesama masyarakat adat.
“Pernyataan ke – 23 anggota LPA Labo – Kawa dihadapan Bupati Nagekeo perlu dilihat lebih jauh agar tidak menimbulkan konflik. Kami akan tunggu BPN Nagekeo turun ukur tanah dan kami mau lihat ke – 23 orang itu menunjukkan tanah ulayat mereka,” kata Selis dengan tegas.
Selis menuturkan, dirinya dan teman – teman muda seusianya tetap komitmen memperjuangkan hak – hak masyarakat sebagai pemilik tanah ulayat warisan leluhur yang telah dititipkan kepada generasi saat ini dan anak cucu yang akan datang.
“Kami sudah bulatkan tekad untuk tetap berjuang mempertahankan hak – hak kami sebagai pemilik warisan yang dititipkan leluhur kepada kami. Sampai kapan pun kami tetap berjuang,” pungkasnya. (WS)
Tinggalkan Balasan